Padang, 19 Juni 2025 — “Kerukunan umat beragama tidak dimulai dari mimbar besar atau forum internasional. Ia tumbuh dari meja makan keluarga, dari cara kita berdialog di ruang sempit rumah tangga.” Kalimat itu meluncur dari Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D., Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI, dalam kuliah tamu yang digelar oleh Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang, Kamis (19/6).
Kuliah tamu bertema “Keluarga sebagai Pondasi Kerukunan Umat Beragama (KUB)” itu dihelat di Kampus II UIN Imam Bonjol Padang, dan dihadiri jajaran akademisi serta pemangku kepentingan seperti Direktur Pascasarjana Hukum Keluarga, Kepala Bagian Kanwil Kemenag Sumatera Barat, dan Kepala Kemenag Kota Padang—yang semuanya merupakan alumni Fakultas Syariah kampus tersebut.
Rektor UIN Imam Bonjol, Hj. Martini, dalam sambutannya menegaskan pentingnya sinergi antara dunia akademik dan para praktisi kebijakan keagamaan. “Mahasiswa pascasarjana tidak cukup hanya dengan teori. Mereka perlu pencerahan langsung dari realitas lapangan agar pemahamannya utuh,” ujarnya. Ia berharap kegiatan ini mampu memberi perspektif segar terhadap isu-isu aktual, khususnya dalam membangun ketahanan keluarga sebagai basis kerukunan umat.
Dalam sesi utama, Gus Adib membagikan pengalaman pribadinya ketika melanjutkan studi ke Flinders University, Australia. “Istri saya turut bekerja di sana demi menopang ekonomi keluarga,” ungkapnya. “Di situlah saya belajar, bahwa harmoni rumah tangga bukan hanya perkara cinta, tapi juga kerja sama dan komitmen.” Ia menegaskan bahwa keluarga yang solid adalah fondasi spiritual dan sosial dalam menciptakan kerukunan lebih luas.
Menurutnya, keluarga berfungsi sebagai “laboratorium dialog” yang pertama. Perbedaan cara pandang, emosi, dan latar belakang dalam pernikahan mencerminkan kompleksitas masyarakat majemuk. “Kalau kita bisa mendengar dengan sabar pasangan sendiri, maka kita juga bisa belajar memahami umat lain,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa untuk mencapai hasil luar biasa dalam hidup, termasuk dalam rumah tangga, diperlukan usaha spiritual yang tidak biasa. “Shalat malam, niat yang lurus, dan ikhtiar yang sungguh-sungguh akan membawa keberkahan,” tuturnya.
Namun, tantangan sosial saat ini tidak bisa diabaikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 516.000 kasus perceraian di Indonesia pada 2023. Fenomena ini, menurut Gus Adib, mencerminkan belum tercapainya keharmonisan dalam rumah tangga. Ia juga menyoroti menurunnya angka pernikahan akibat ekspektasi tidak realistis dari generasi muda, yang sering terbawa citra semu dari media sosial. “Mereka melihat pernikahan seperti potongan video romantis, tanpa menyadari pahit-manisnya kehidupan bersama,” ujarnya.
Karena itu, peran penyuluh agama dan penghulu menjadi sangat strategis. “Bimbingan nikah tidak boleh hanya formalitas. Harus dibuka ruang dialog tentang realita hidup: soal ekonomi, komunikasi, peran gender, bahkan perbedaan nilai,” tegasnya.
Sesi diskusi yang menyusul berlangsung dinamis. Dr. Aulia, salah satu peserta, mengkritisi bahwa screening calon pasangan menjelang pernikahan seringkali hanya bersifat simbolik. Ia mempertanyakan apakah ada rencana aksi konkret yang dirancang pemerintah. Menjawab hal itu, Kapus PKUB menjelaskan bahwa Kementerian Agama telah mengembangkan program Asta Protas Menag, sebuah inovasi layanan keagamaan berbasis KUA dan penyuluh agama. Terkait komunitas adat, ia menambahkan bahwa ranah tersebut berada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sementara itu, Mardiah, peserta lainnya, menanyakan cara mengatasi ekspektasi tidak realistis perempuan terhadap pernikahan. Kapus menjawab bahwa edukasi publik melalui komunitas dan media yang positif sangat diperlukan. “Media sosial sering menipu dengan narasi palsu. Kita harus buat ruang digital yang jujur dan mendidik,” katanya.
Menyikapi pertanyaan tentang kesenjangan peran gender dalam keluarga, ia menekankan pentingnya membangun pemahaman bahwa pernikahan bukanlah kompetisi. “Perempuan yang bekerja tetap bisa menjadi pusat harmoni rumah, asal ada saling percaya dan komitmen untuk tumbuh bersama,” ucapnya.
Kuliah tamu ini menjadi ruang refleksi bahwa kerukunan tidak cukup dibangun di ruang publik saja. Ia harus ditanamkan sejak dini, melalui relasi paling intim dan mendasar: keluarga. Sebagaimana disimpulkan oleh Gus Adib, “Kalau kita tidak bisa berdamai di rumah sendiri, bagaimana mungkin kita bisa berdamai dengan dunia?”