Membaca Islamisme Digital

Admin Agama 08 May 2025 1232 kali dibaca
Membaca Islamisme Digital

Membaca Islamisme Digital

Adib Khairil Musthafa

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Kuntowijoyo, lewat karyanya “Muslim Tanpa Masjid” (2001) sekilas menampakkan sebuah “ramalan” terhadap fenomena kemunculan otoritas agama baru (new religious authority). Gejala otoritas agama baru bernama digital-religious athority itu terlihat setidaknya dalam beberapa dekade terkahir.


Meskipun tampak permukaan kemunculan otoritas baru ini memungkinkan masyarakat dengan mudah mengakses informasi dan pengetahuan keagamaan tanpa harus belajar ke pesantren, madrasah atau mendatangi seorang kiai/ustaz. Namun di sisi yang lain, ia menimbulkan “paradoks” otoritas agama, sejauh mana prasyarat keagamaan normatif yang diajarkan dalam media sosial cukup “otoritatif” dan tak tercampur-aduk dengan agenda politik gerakan ideologis mereka? persoalan terakhir ini yang agaknya justru terlihat dari penampilan para influence islamis di media sosial belakangan.


Semaraknya peranan media baru seperti Youtube, Instagram, Twitter hingga TikTok dalam pergulatan wacana keagamaan baru-baru ini telah memunculkan satu fenomena baru: Digital-Islamism, lengkap dengan beragam modus, atribut ideologis dan gaya retorika kekiniannya.


Ekosistem Ideologis

Kemunculan digital-citizenship memungkinkan interaksi ideologis dan wacana keagamaan berkelindan dengan perkembangan pesat media baru. Meski sekilas kemunculan media baru dapat dibaca sebagai bagian dari perkembangan ruang publik masyarakat muslim yang semakin terbuka. Namun agenda Islam Politik perlu dilihat tidak saja sebagai “insiden terisolasi” belaka. Ia juga penting dilihat sebagai gejala dari munculnya gerakan metamorfosis digital Islam Politik sebagaimana kekhawatiran opini Faiz berjudul “Metamorfosis Digital HTI” (Kompas 25/02/2025)


Pembubaran kelompok Islam politik seperti HTI pada 2017 lalu dasarnya memang tidak memberikan implikasi begitu signifikan terhadap bersemainya pemahaman radikal di kalangan generasi muda. Riset SETARA Institute pada 2019 terhadap sepuluh perguruan tinggi PTN menunjukkan bahwa beberapa eks-HTI justru beralih terlibat dalam “gerakan kultural” lewat gerakan-gerakan Tarbiyah yang diakokomodasi oleh berbagai latar identitas gerakan Islam transnasional.

Dalam kondisi semacam inilah, ruang digital ikut serta berkerja dan terlibat sebagai medan reproduksi narasi ideologis mereka. Lewat platform inilah kelompok Islam Politik telah jauh-jauh hari menciptakan apa yang saya sebut sebagai “ekosistem ideologis” (ideological-ecosystem). Siniar baru seperti Youtube, Instagram, Tiktok dan Twitter telah menjadi salah satu arena baru mereka dalam mereproduksi wacana Islamisme.

Berbeda dengan pola tradisional yang cenderung mengandalkan struktur kelembagaan, Islamisme digital tampak menawarkan dakwah yang lebih segar, cair dan adaptif dengan segmen anak-anak muda. Mereka dengan piawai memanfaatkan retorika keagamaan Islamisme dengan gaya dakwah yang santai, trendy dan pandai membaca ceruk pasar terkini masyarakat muslim.


Sebagaimana dicatat oleh Supriansyah (2024) Islamisme gaya baru ini cukup gigantik dalam memanfaatkan “market” ekonomi digital. Lewat kelas-kelas berbayar, merchandise, donasi crowsfunding, hingga fitur membership yang difasilitasi oleh berbagai platform seperti Youtube, TikTok, Twitter hingga Instagram menjadikan sumber daya ekonomi mereka tidak lagi (sepenuhnya) bergantung pada jejaring institusional sebagaimana lumrahnya gerakan transnasional Islamisme di masa lalu. Namun kepiawaian mereka sebetulnya tak cukup mampu menyembunyikan gaya dakwah mereka yang cenderung konservatif, dogmatis dan politis.

Tidak hanya sumber daya ekonomi, ruang digital memungkinkan mereka membentuk gerakan “Islamisme yang tak kasat mata” (Imagined Islamism-community). Lewat fasilitas dan jejaring media baru, secara terselubung mereka berhasil membentuk sumber daya kultural lewat komunitas keagamaan digital yang didominasi oleh followers anak-anak muda muslim. Secara diam-diam gerakan ini berhasil menciptakan sebuah ekosistem ideologis berbasis komunitas media sosial.


Komodifikasi Dakwah Keagamaan

Pertanyaannya, mengapa dakwah mereka dapat dengan mudah diterima? Menarik memperhatikan tesis Oky Setiana Dewi (2020) dalam disertasinya berjudul “Penerimaan Kelas Menengah Muslim terhadap Dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh (2000-2019)” yang menjelaskan bahwa salah satu alasan para informannya (kalangan selebritis) memilih kelompok Salafi-Islamis dalam belajar agama adalah kemudahan akses terhadap konten keagamaan mereka yang tersebar luas di media sosial.

Noorhaidi Hasan (2009) dalam “The making of public Islam: piety, agency, and commodification on the landscape of the Indonesian public sphere” menjelaskan bahwa lewat komodifikasi agama dakwah Islam dikemas dengan tampak lebih meyakinkan dan mengesankan. Kepiawaian mereka dalam melakukan komodifikasi narasi keagamaan di ruang media mampu menampilkan Islam yang dapat diterima dengan cukup mudah terutama oleh kelas menengah muslim.

Dari dua penjelasan itu, kita dapat dengan mudah melihat betapa besarnya pengaruh media sosial terhadap preferensi, pencarian, keputusan hingga penerimaan “jenis” dakwah keagamaan di ruang digital.


Meminjam tesis Hefner (2024) kelompok Islamis memang memiliki kecenderungan menggunakan gaya epystemological-populism (populisme-epistemologis) ceramah keagamaan mereka memiliki corak untuk menawarkan ajaran-ajaran Islam yang sederhana, normatif, dengan gaya yang santai tanpa menghilangkan kesan argumentasi tekstualnya.

Kecenderungan gaya dakwah semacam itu sebetulnya dapat dibaca sebagai bagian dari upaya kelompok ini untuk tetap eksis di tengah upaya eksklusi pemerintah terhadap gerakan struktural mereka yang gagal. Kegagalan kelompok Islamis di wilayah “struktural” telah membawa peralihan gerakan mereka ke wilayah “kultural” lewat arena yang disebut Hasan (2009) sebagai “Public-Piety” (kesalehan publik). Tidak heran, gerakan-gerakan ini berulang kali bermetamorfosis dalam bentuk-bentuknya yang baru di ruang publik.


Semaraknya ruang digital dalam wacana keagamaan belakangan, tidak absen dibaca kelompok ini sebagai medan baru mereka dalam melanjutkan agenda masa lalu berbasis platform digital. Bedanya, jika di masa lalu, gerakan mereka dapat dengan mudah diidentifikasi melalui penggunaan simbol-simbol Islamisme. Lain hal dengan Islamisme-digital, mereka piawai melakukan komodifikasi dakwah keagamaan dengan melakukan adaptasi dan kooptasi penggunaan simbol-simbol dan tren anak muda terkini. Dalam retorika dakwah misalnya, mereka tak lagi segan menggunakan tagline seperti toleransi, keberagaman hingga kemanusiaan yang sebelumnya identik dengan kelompok Islam moderat. Mereka cukup piawai menampilkan diri mereka sebagai “bagian” dari juru bicara Islam moderat.

Pertanyaannya, dapatkah kita membaca fenomena metamorfosis Islamisme itu sebagai satu gejala yang natural? Atau fenomena itu dasarnya adalah babak baru gerakan Islamisme di Indonesia?


Tidak berlebihan untuk menganggap bahwa tugas kalangan moderat sekarang jauh lebih berat dalam melawan wacana keagamaan kelompok ini. Keputusan pemerintah dengan menggunakan pendekatan struktural (top-down approach) terhadap kelompok ini dasarnya harus dibayar dengan implikasi yang cukup mahal. Kita akan tampak kesulitan mengidentifikasi gerakan-gerakan Islamisme semacam itu di ruang publik.


Program Moderasi beragama (PMB) misalnya, menemui tantangannya tersendiri, mewaspadai gerakan terselubung kelompok Islamis-fundamentalis tak mungkin dapat diselesaikan (hanya) melalui seminar-seminar seremonial program penguatan moderasi beragama. Perlu upaya komprehensif, struktural juga kultural dalam merumuskan agenda besar terhadap potensi paparan pemahaman radikal terutama di kalangan generasi muda sebagai konsumen utama konten-konten keagamaan di platform digital.