PKUB Kemenag Tegaskan Pentingnya Menjaga Nalar Publik dan Kerukunan Sosial di Tengah Konflik Global

Admin Berita 02 Jul 2025 294 kali dibaca
PKUB Kemenag Tegaskan Pentingnya Menjaga Nalar Publik dan Kerukunan Sosial di Tengah Konflik Global

PKUB Kemenag Tegaskan Pentingnya Menjaga Nalar Publik dan Kerukunan Sosial di Tengah Konflik Global

Jakarta – 2 Juli 2025. Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Republik Indonesia menggelar forum nasional bertajuk “Penguatan Kerukunan Umat Beragama dengan Pendekatan Multidisiplin Merespons Isu Global” di Hotel Vertu Harmoni, Jakarta. Forum ini menjadi ruang diskusi reflektif yang menyoroti dampak konflik global terhadap stabilitas sosial di Indonesia, serta pentingnya menjaga nalar publik dalam menyikapi derasnya arus informasi berbasis agama.


Sejumlah narasumber dari kalangan pemerintah, akademisi, dan tokoh agama tampil memberikan perspektif lintas disiplin dalam merespons eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang kian memanas. Mereka menekankan bahwa Indonesia harus tetap waspada terhadap masuknya narasi sektarian dari luar yang berpotensi memecah belah harmoni sosial di dalam negeri.


Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Hamdan Hamedan, mengingatkan pentingnya introspeksi nasional di tengah isu global. “Kita tidak boleh lupa menyiram ladang sendiri ketika ladang orang lain terbakar,” ujarnya. Ia menambahkan, sejarah membuktikan bahwa banyak konflik bersenjata menggunakan agama sebagai kedok. Oleh karena itu, ia menilai penting bagi masyarakat Indonesia untuk menjaga kejernihan berpikir dan tidak mudah terjebak framing media yang memang kerap digunakan untuk melemahkan negara-negara berkembang.


Pandangan kritis juga disampaikan oleh Makmun Rasyid dari Majelis Ulama Indonesia. Ia menyebut bahwa banyak narasi yang mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia merupakan produk luar negeri yang diimpor secara sistematis. “Konflik di berbagai belahan dunia kerap dibumbui dengan agama agar cepat membesar dan memancing emosi publik. Bahkan tokoh-tokoh seperti Osama bin Laden dan Abdullah bin Azzam pun dijadikan simbol konflik yang melekatkan agama pada kekerasan,” ujarnya.


Dari sisi akademik, Prof. dr. Hardisman dari Universitas Andalas menyoroti dinamika mahasiswa dalam memahami agama. Ia menyebut bahwa mahasiswa yang telah memiliki dasar pemahaman agama yang kuat cenderung lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan. Sebaliknya, mahasiswa yang baru mulai mempelajari agama saat kuliah sering kali belum matang dalam berpikir, dan lebih mudah terjebak pada sikap menyalahkan kelompok lain.


Sementara itu, Prof. Dr. Achmad Gunaryo, M.Sos.Sc., Guru Besar UIN Walisongo Semarang, mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem hukum adat terbanyak di dunia. “Di mana pun kita berada di Indonesia, pasti ada warga dari suku dan agama lain. Kita ini Indonesia, bukan sekadar kumpulan suku. Maka hentikan cara pandang yang mengecilkan sesama dengan sebutan-sebutan seperti ‘dasar Jawa’ atau ‘dasar Cina’,” tegasnya. Ia juga menyebut pentingnya belajar dari kegagalan negara-negara besar seperti Uni Soviet dan sejumlah negara di Timur Tengah yang runtuh karena tidak mampu mengelola keragaman dan wilayah secara berkeadilan.


Kepala PKUB Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D., dalam kesempatan tersebut menegaskan bahwa menjaga kerukunan di Indonesia bukan hanya agenda keagamaan, melainkan kebutuhan strategis bangsa. Menurutnya, forum ini menjadi ruang penting untuk membangun kesadaran bersama bahwa perdamaian hanya dapat dijaga dengan nalar yang sehat, literasi yang kuat, dan kolaborasi lintas sektor yang konsisten.

“Konflik global jangan sampai dibawa masuk ke ruang sosial kita tanpa filter. Kuncinya adalah berpikir jernih dan tetap berpegang pada nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan,” ujarnya.


Forum ini juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan pemuda lintas iman untuk membentengi bangsa dari infiltrasi ideologi kebencian. Seluruh peserta sepakat bahwa Indonesia harus dijaga dengan nalar, cinta, dan keberanian bersuara demi perdamaian.