Bandung – 3 Juli 2025. Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Republik Indonesia menegaskan pentingnya peran lembaga keagamaan hingga akar rumput dan penguatan literasi digital dalam menjaga kerukunan umat beragama di tengah kompleksitas tantangan global dan nasional. Penegasan ini disampaikan dalam forum kebijakan bertema “Pilar Perdamaian untuk Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan”, yang digelar di Grand Arjuna Bandung, 2–3 Juli 2025.
Forum ini melibatkan 85 peserta dari berbagai latar belakang—tokoh agama, tokoh pemuda, penyuluh, dan perwakilan lembaga keagamaan—yang menyuarakan kebutuhan akan pembinaan nilai-nilai agama yang lebih membumi serta perlunya sinergi lintas sektor dalam menghadapi ancaman intoleransi dan disinformasi di ruang digital.
Kepala PKUB Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D., menyampaikan bahwa salah satu indikator keberhasilan kehidupan keagamaan adalah ketika umat semakin dekat dengan ajaran agamanya. Ia menekankan perlunya internalisasi nilai-nilai agama tidak berhenti di tingkat pusat atau organisasi keagamaan besar, tetapi menjangkau langsung masyarakat desa dan kelurahan melalui tokoh agama lokal, guru, penyuluh, dan pengurus rumah ibadah.
“Kami juga sedang menyiapkan peluncuran sistem Early Warning System (EWS) untuk deteksi dini konflik sosial berbasis keagamaan, dan berharap para penyuluh agama bisa terlibat aktif,” ujar Gus Adib.
Drs. Ismail Cawidu, M.Si, Staf Khusus Menteri Agama, menyoroti pentingnya menjadikan lembaga keagamaan sebagai agen kerukunan yang berperan di level lokal maupun global. Ia menekankan bahwa salah satu kekuatan utama Indonesia adalah kerukunan umat beragama, sesuatu yang tak ternilai dan menjadi aset strategis bangsa di tengah dunia yang terus diguncang konflik identitas, sektarianisme, dan bencana kemanusiaan akibat eksploitasi.
“Bayangkan jika semua rumah ibadah memancarkan tone perdamaian yang sama, maka kita akan jauh lebih mudah membangun harmoni sosial,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia dan Deklarasi Istiqlal menjadi simbol bahwa Indonesia telah memenuhi indikator keamanan dan kesiapan untuk menjadi destinasi kerukunan. “Semakin dalam kita memahami ajaran agama, semakin nyaman kita hidup berdampingan,” katanya. Ia menambahkan bahwa ajaran agama semestinya menjadi sumber cinta kasih, bukan alat untuk membenarkan kebencian.
Forum juga menyepakati pentingnya optimalisasi peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan forum silaturahmi lokal di tingkat kecamatan dan desa sebagai simpul mediasi cepat. Dukungan pemerintah daerah melalui kolaborasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD)—seperti Kesbangpol, Dinas Sosial, Kominfo, bahkan Satpol PP—dianggap krusial untuk mendukung mediasi, deteksi dini, dan literasi digital yang dapat menangkal hoaks intoleransi.
Isu penyebaran narasi kebencian di media sosial menjadi salah satu perhatian serius peserta. Nyoman, perwakilan PHDI Kota Bandung, mempertanyakan lemahnya respon terhadap akun-akun yang menyebarkan ujaran kebencian. “Kalau hal ini terus meluas tanpa kontrol, bisa memicu kekacauan yang lebih besar,” ujarnya.
Sorotan juga muncul dari Bambang, perwakilan Majelis Agama Khonghucu, yang menilai bahwa masyarakat di tingkat akar rumput justru cenderung sudah hidup rukun. “Masalahnya justru sering muncul dari elite atau tokoh yang menyebarkan kampanye intoleransi,” katanya. Ia juga menyinggung praktik diskriminasi oleh lembaga keuangan terhadap pembangunan rumah ibadah, serta mendesak perlunya protokol tegas dari pemerintah untuk memblokir konten intoleran di media sosial.
Sandi Hutayan dari Kemenag Kota Bandung menyoroti kualitas dan legalitas mediator konflik di tingkat lokal. Menurutnya, tidak semua mediator yang terlibat memiliki kapasitas atau sertifikasi yang layak, sehingga berisiko memperkeruh situasi alih-alih menyelesaikannya.
Menanggapi hal ini, Kepala PKUB mengakui masih adanya tantangan koordinasi di lapangan. Ia menyebut insiden di Sukabumi sebagai bentuk kecolongan karena tidak adanya pelaporan dari pemerintah setempat. “Ketika persoalan internal berdampak pada masyarakat luas, itu jadi tanggung jawab kita semua,” tegasnya.
Dalam sesi penutup, forum menekankan bahwa membangun kerukunan memerlukan upaya kolektif yang menyeluruh—dari tokoh agama, pemerintah, hingga pengguna media sosial. Dibutuhkan sistem komunikasi yang baik antarumat, literasi digital yang kuat, dan kesadaran bersama bahwa perdamaian adalah pondasi utama kehidupan berbangsa.