PKUB Terima Audiensi GMKI Cabang Jakarta, bahas dampak PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

Admin Berita 20 Jul 2025 135 kali dibaca
PKUB Terima Audiensi GMKI Cabang Jakarta, bahas dampak PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

PKUB Terima Audiensi GMKI Cabang Jakarta, bahas dampak PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

Jakarta — Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI menerima audiensi sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Jakarta, di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (17 Juli 2025). Pertemuan ini menjadi forum terbuka untuk membahas isu-isu aktual seputar kebebasan beribadah, intoleransi, dan dampak regulasi pendirian rumah ibadat.


Mahasiswa GMKI menyoroti sejumlah kasus penolakan ibadah umat Kristen yang terjadi di beberapa daerah, seperti Cidahu (Sukabumi), Depok, dan wilayah penyangga Jakarta lainnya. Mereka menyampaikan keprihatinan atas sikap yang dinilai pasif dari Kementerian Agama, serta mendesak agar regulasi lama berupa Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 segera direvisi atau bahkan dicabut.


“Kami melihat selama hampir dua dekade berlakunya PBM, praktik intoleransi masih terus terjadi. Artinya regulasi ini perlu ditinjau kembali. Kami tidak ingin ada lagi umat yang merasa kesulitan menjalankan ibadah hanya karena faktor administratif,” ujar Andre Ginting, Ketua GMKI Komisariat UPN Jakarta.


Menanggapi hal tersebut, Kepala PKUB, Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D., menegaskan bahwa PKUB terus bekerja di hulu melalui penguatan sistem deteksi dini atau Early Warning System (EWS), untuk mencegah konflik keagamaan sejak dini. Hadir mendampingi Kepala PKUB dalam pertemuan audiensi ini Sekretaris Ditjen Bimas Kristen John Tilaar dan Sekretaris Ditjen Bimas Katolik Reginaldus Saverinus Sely Serang.


“Jika konflik sudah pecah, maka itu sudah masuk ke ranah hukum dan menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum. PKUB bertugas untuk mengantisipasi sebelum api membesar,” jelas Adib.

Ia menambahkan, kasus di Cidahu Sukabumi merupakan contoh miskomunikasi di lapangan, khususnya dalam memahami perbedaan antara rumah doa dan rumah ibadat formal. Menurutnya, PBM hanya mengatur pendirian rumah ibadat yang bersifat permanen dan digunakan secara luas oleh umat, bukan rumah doa yang bersifat pribadi atau kelompok kecil, dalam kasus di Cidahu dipakai istilah rumah singgah.


Perpres Pengganti PBM Sudah Rampung

Dalam forum tersebut, Adib juga mengungkapkan bahwa saat ini draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang KUB sebagai pengganti PBM telah selesai disusun dan tinggal menunggu persetujuan serta penandatanganan Presiden RI.

“Perpres ini akan memperkuat posisi hukum KUB dan mengatur lebih komprehensif strategi pembinaan kerukunan, termasuk penegasan struktur FKUB di tingkat nasional serta pelibatan unsur perempuan dan penghayat kepercayaan dalam keanggotaan FKUB,” ungkapnya.

Meski demikian, ia memastikan bahwa poin-poin penting seperti syarat 90 orang pemakai dan dukungan 60 warga dalam pendirian rumah ibadat masih dipertahankan, karena merupakan hasil konsensus para majelis agama sejak awal penyusunan PBM.

“Regulasi ini bukan dibuat oleh negara sepihak, tetapi merupakan kesepakatan lintas agama yang diwakili oleh Tokoh Agama dari Majelis-Majelis Agama yang hadir dalam pertemuan dan pembahasan PBM sejak awal” jelas Adib.


FKUB Bukan Benteng Mayoritas

Salah satu kritik GMKI menyasar peran FKUB yang dianggap tidak cukup aktif dalam menjembatani aspirasi umat minoritas. Menjawab hal ini, Adib menegaskan bahwa FKUB merupakan forum masyarakat, bukan alat negara, dan tidak boleh menjadi benteng kelompok mayoritas.


“FKUB dibentuk oleh masyarakat lintas agama di daerah, bukan oleh pemerintah. Ia bukan lembaga yang menghalangi pendirian rumah ibadah, tapi justru berfungsi menjembatani dan menciptakan ruang dialog,” katanya. “Keanggotaan FKUB menghadirkan semua unsur perwakilan agama di wilayah tersebut” lanjut Adib.

Adib juga mengingatkan pentingnya pendekatan budaya dan komunikasi sosial untuk menyelesaikan persoalan kerukunan di tingkat akar rumput. Menurutnya, perdamaian sosial yang tumbuh dari kesepakatan lokal sering kali lebih kokoh dari regulasi tertulis. “Kwalitas komunikasi antar warga dan masyarakat dalam kenyataan keberagaman hidup menjadi sangat penting dan perlu terus dikuatkan” lanjut Adib.


“Di Desa Pabuaran, misalnya, rumah ibadat bisa berdiri tanpa perlu hitung-hitungan administratif karena kohesi sosialnya sudah terbentuk. Itu artinya harmoni bisa hidup di atas aturan, bukan sekadar tunduk pada aturan,” ujarnya.


Siap Hadiri Dialog Publik

Di akhir audiensi, mahasiswa GMKI menyampaikan rencana untuk menggelar dialog publik nasional terkait masa depan regulasi rumah ibadat di Indonesia. Mereka akan mengundang tokoh-tokoh lintas agama, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil.

PKUB menyambut baik inisiatif ini. Adib menyatakan kesiapannya untuk hadir dan membuka ruang diskusi lebih luas mengenai perbaikan regulasi dan penguatan jaminan konstitusional atas kebebasan beragama.

“Kami siap berdialog. Kalau perlu, kita hadir bersama di forum PGI maupun lembaga keagamaan lainnya. Mari kita jadikan kritik sebagai masukan konstruktif demi memperkuat kerukunan,” ucapnya.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik Kementerian Agama, Akhmad Fauzin, S.Ag., M.Si turut memberikan penjelasan bahwa pernyataan resmi dari Kepala PKUB sudah mewakili posisi institusi Kementerian Agama. Menurutnya, negara bekerja dalam sistem, dan tidak semua pernyataan harus langsung keluar dari Menteri atau Presiden.


Menuju Indonesia sebagai Rujukan Kerukunan Dunia

Menutup pertemuan, Adib menyampaikan visinya agar Indonesia tak hanya menjadi negara majemuk yang damai, tetapi juga menjadi rujukan dunia dalam hal kerukunan antarumat beragama.

“Saya ingin Indonesia menjadi referensi dan destinasi dunia dalam urusan kerukunan. Untuk itu, kita semua perlu bekerja sama—pemerintah, masyarakat, tokoh agama, dan tentu saja anak muda seperti kalian,” pungkasnya.