Bandung, 2 Juli 2025— Dalam upaya merawat kerukunan dan memperkuat ruang perjumpaan antarumat beragama di tengah dinamika sosial, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI menggelar forum dialog lintas agama di Grand Arjuna Hotel, Cimbuleuit, Kota Bandung, 2–3 Juli 2025. Forum ini mengusung tema “Internalisasi Ajaran Agama dalam Pemberdayaan Lembaga Keagamaan: Peran Lembaga Keagamaan sebagai Pilar Perdamaian untuk Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan.”
Kegiatan ini menjadi ruang strategis untuk mempertemukan tokoh lintas agama, forum kerukunan, dan unsur pemerintah dalam satu forum yang egaliter, saling mendengar, dan membangun kepercayaan.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, yang diwakili oleh Kepala Bidang Bina Lembaga Kerukunan Agama dan Lembaga Keagamaan, Hery Susanto, dalam laporannya menegaskan bahwa forum ini merupakan bagian dari implementasi Asta Program Prioritas Menteri Agama, khususnya pada aspek penguatan kerukunan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan.
“Forum ini bukan sekadar dialog, tetapi bentuk nyata dari pengarusutamaan nilai cinta kemanusiaan dan kerukunan melalui lembaga-lembaga keagamaan,” ujar Hery. Menurutnya, lembaga keagamaan harus hadir sebagai ruang perjumpaan lintas iman yang mendorong harmoni sosial dan kolaborasi lintas sektoral.
Sementara itu, Plt. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Mohammad Ali Abdul Latief, secara resmi membuka acara dan menekankan pentingnya kerukunan sebagai fondasi pembangunan di daerah yang plural seperti Jawa Barat.
“Keberagaman di Jawa Barat adalah anugerah yang harus dirawat dengan dialog yang tulus, bukan dengan kecurigaan. Lembaga keagamaan harus menjadi oase perdamaian, bukan menara eksklusivisme,” tegas Abd. Latief.
Ia juga menyampaikan pentingnya tokoh agama sebagai agen damai dan mitra strategis pemerintah, termasuk dalam penguatan indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Ia menyinggung perlunya memasukkan perspektif eco-theology sebagai bagian dari pendekatan kerukunan yang kontekstual dan ramah lingkungan.
Di tempat yang sama Dr. Agus Thoyib, Direktur Ketahanan Ekonomi Sosial dan Budaya pada Ditjen Politik dan PUM Kemendagri, yang didaulat menjadi salah satu pembicara, mendorong agar ruang perjumpaan lintas agama tidak hanya berakhir dalam forum, melainkan melahirkan rencana aksi yang terukur di daerah.
Ia juga mengingatkan bahaya intoleransi digital yang makin masif. “Kita membutuhkan narasi keagamaan yang damai, menyatukan, dan menyejukkan, untuk melawan ekstremisme dan ujaran kebencian yang berkembang secara daring,” ujarnya.
Dukungan serupa disampaikan oleh Irman Nugraha, Kabid Ketahanan Sosial Budaya, Agama, dan Kemasyarakatan Kesbangpol Jabar. Ia menyampaikan keprihatinan atas penurunan skor KUB di Jawa Barat, terutama dalam aspek toleransi dan kesetaraan. Namun, menurutnya, pemerintah provinsi telah berkomitmen dengan kebijakan afirmatif seperti Perda Toleransi dan program Moderasi Beragama.
Sesi diskusi berlangsung dinamis. Sejumlah tokoh lintas agama menyampaikan aspirasi dan masukan yang menggambarkan masih adanya kesenjangan dalam pemenuhan hak beragama.
Perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Bandung, I Ketut Sudana, menyoroti perlunya afirmasi terhadap pendidikan agama minoritas, termasuk integrasi kegiatan pasraman ke dalam sistem pendidikan formal.
Sementara itu, perwakilan Keuskupan Bandung, Ega Hutama, menyampaikan apresiasi atas penyelesaian persoalan umat Katolik di kawasan Arcamanik yang dinilai sebagai hasil nyata dari komunikasi antarlembaga.
FKUB Kabupaten Bandung Barat melalui Aep Nurdin meminta penguatan peran FKUB dengan dukungan kebijakan dan anggaran yang konkret. “FKUB tidak boleh hanya menjadi simbol, tapi harus menjadi fasilitator aktif di tengah masyarakat,” ujarnya.
Ketua PGLII Jawa Barat, Benyamin Lumondo, menegaskan bahwa FKUB harus inklusif dan benar-benar merepresentasikan seluruh unsur agama. “Dialog tidak akan efektif jika hanya melibatkan kelompok tertentu,” tandasnya.
Forum ini menjadi tonggak penting dalam memperluas ruang perjumpaan antariman yang mendorong nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Dengan komitmen bersama dari tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat, kerukunan di Jawa Barat tidak lagi menjadi wacana semata, tetapi gerakan kolektif yang hidup dalam praktik sosial sehari-hari.
“Ruang dialog lintas iman seperti ini adalah jembatan harapan untuk membangun Jawa Barat yang damai dan berkeadaban,” pungkas moderator.