MUHAMMAD ADIB ABDUSHOMAD M.Ag, M.Ed, Ph.D
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah membuktikan kedigdayaannya dalam menyatukan keberagaman bangsa ini. Di tengah kompleksitas sosial, budaya, agama, dan etnis yang membentang dari Sabang sampai Merauke, Pancasila tetap menjadi jangkar pemersatu yang kokoh. Bahkan, kekaguman terhadap bangsa Indonesia karena keberhasilannya dalam merawat keberagaman dengan Pancasila sebagai ideologi pemersatu telah diakui oleh berbagai pihak di luar negeri. Tidak sedikit ilmuwan, diplomat, dan pengamat internasional yang menyatakan kekaguman atas bagaimana bangsa ini berhasil mempertahankan stabilitas sosial dan politik dalam kerangka negara-bangsa yang majemuk. Di saat negara lain runtuh karena konflik identitas, Indonesia justru tumbuh dalam semangat Bhineka Tunggal Ika yang dijaga oleh nilai-nilai Pancasila.
Sejarah mencatat ketegasan dan
visi Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dalam menjadikan
Pancasila bukan hanya sebagai dokumen ideologis, tetapi sebagai warisan
peradaban. Dalam suatu kesempatan bersejarah, Presiden Soekarno pernah ditanya
oleh Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, tentang apa yang akan diwariskannya
kepada generasi penerus Indonesia. Dengan penuh keyakinan, Soekarno menjawab:
“Pancasila.” Sebuah jawaban yang mencerminkan kebesaran visi dan keyakinan
terhadap kekuatan nilai-nilai Pancasila. Ironisnya, Yugoslavia yang kala itu
membanggakan kekuatan militer dan kemajuan teknologinya justru terpecah belah
menjadi beberapa negara setelah dilanda konflik internal yang berakar pada
identitas etnis dan agama. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bahwa
kekuatan militer dan ekonomi saja tidak cukup untuk menjaga keutuhan bangsa
tanpa fondasi ideologi yang menyatukan.
Namun demikian, keberhasilan Pancasila dalam merekatkan bangsa tidak bisa terus-menerus bergantung pada narasi sejarah semata. Tantangan membumikan Pancasila di era modern, khususnya di tengah dominasi generasi Z (gen Z), memerlukan pendekatan baru yang adaptif dan kontekstual. Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, adalah generasi yang sangat akrab dengan teknologi dan dunia digital. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang terhubung secara global, terbiasa dengan informasi instan, serta memiliki kecenderungan untuk menilai sesuatu berdasarkan pengalaman dan realitas yang konkret, bukan dogma semata.
Dalam konteks ini, metode pengenalan Pancasila yang bersifat normatif dan seremonial seperti yang diterapkan pada era sebelumnya, seperti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), sudah tidak lagi efektif. Generasi Z memerlukan pendekatan yang lebih partisipatif dan aplikatif. Mereka tidak bisa hanya diberi ceramah tentang pentingnya Pancasila, tetapi harus diajak berdiskusi dan diberikan ruang untuk melihat bagaimana nilai-nilai Pancasila hadir dalam realitas sehari-hari. Misalnya, nilai keadilan sosial tidak cukup diajarkan melalui teori, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan dan pelayanan publik yang adil dan tidak diskriminatif.
Lebih jauh, tantangan membumikan Pancasila saat ini semakin kompleks dengan adanya amomali di tubuh pemerintahan itu sendiri. Praktik korupsi yang merajalela, pejabat yang tidak amanah, dan budaya ABS (Asal Bapak Senang) yang masih mengakar menjadi penghambat serius dalam mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila. Ketika rakyat melihat bahwa mereka yang seharusnya menjadi teladan justru melanggar prinsip-prinsip Pancasila, maka kepercayaan publik akan tergerus. Pancasila bisa dianggap hanya sebagai slogan kosong tanpa makna substantif.
Di sinilah urgensi untuk menghidupkan Pancasila dalam praktik kehidupan nyata. Upacara Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni memang penting sebagai momen reflektif, namun ia tidak cukup jika tidak diiringi dengan internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan, tindakan, dan budaya sosial. Pancasila harus hadir dalam kejujuran birokrasi, dalam keadilan sistem hukum, dalam semangat gotong-royong masyarakat, dalam penghargaan atas perbedaan, dan dalam kebijakan ekonomi yang berpihak pada keadilan sosial.
Dalam konteks generasi Z, strategi membumikan Pancasila dapat dilakukan melalui optimalisasi teknologi dan media sosial sebagai medium edukatif. Konten-konten kreatif, seperti video pendek, infografis, podcast, dan aplikasi berbasis Pancasila dapat menjadi jembatan yang efektif. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus bekerja sama dengan komunitas kreatif dan influencer untuk menyampaikan pesan-pesan Pancasila secara menarik dan relevan. Selain itu, pendidikan karakter berbasis Pancasila perlu dikuatkan dalam sistem pendidikan formal dan informal, dengan menekankan pada aspek pembentukan sikap dan perilaku, bukan sekadar hafalan butir-butir nilai.
Lebih dari itu, diperlukan keteladanan dari para pemimpin—baik di tingkat nasional maupun lokal—untuk menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya semboyan, tetapi pedoman hidup yang dijalankan dengan integritas. Teladan ini menjadi penting karena generasi Z sangat kritis dan sensitif terhadap inkonsistensi antara ucapan dan tindakan. Ketika para pemimpin mampu menunjukkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, maka pesan itu akan jauh lebih mengena daripada seribu kata.