Obskur Kultural

Admin Budaya 17 May 2025 264 kali dibaca
Obskur Kultural

Obskur Kultural

M. Hafidzulloh SM

Pengajar di UIN SATU Tulungagung, Mahasiswa Doktoral Ilmu-ilmu Humaniora FIB UGM.

Kemucnulan diskursus polemik bangunan epistemologi ilmu pengetahuan yang berlaku pada dunia Ketiga semakin mencuat. Pembahasan dari sisi ilmu pengetahuan (epistemis disobedience) (Mignolo, 2009), wawasan agama yang disertai dengan seluk-beluk dinamikanya (Hefner, 2023; Woodward, 2024) telah mewarnai konstelasi apa dan mengapa penting pembahasan dekolonial itu perlu diwujudkan.


Pertama saya akan sedikit memberi gambaran tentang  apa urgensi pembahasan di atas? Ketika dunia ketiga salah satunya adalah Indonesia, mencoba untuk mencari afirmasi pada dimensi ilmu pengetahuan senantiasa berlindung di bawah payung sarjana Barat. Kecenderungan ini bukan menjadi rahasia lagi; terlihat seperti glorifikasi bangunan epistemologi Barat, menjadikannya sebagai sandaran, serta diposisikan pada piramida tertinggi dalam koridor saintifik. Barangkali asumsi ini agak berlebihan ketika dihadapkan pada suatu mekanisme kontrol akademik, tetapi kondisi inilah yang hari ini terjadi. Bahkan sistematika yang hari ini dikonstruksi sebagai “yang ideal” ternyata adalah bagian dari kontrol epistemik dalam menggapai kepadanan yang bersifat universal.


Kedua, persoalan lain yang layak untuk dihadirkan dalam persoalan dekolonialisasi bergerak pada ranah alasan yang digunakan sebagai dasar untuk menyatakan geliat terhadap proyeksinya. Telaah Popper (1959) dalam menyoal adanya mekanisme falsifikasi terhadap suatu bangunan epistemik bisa digunakan sebagai dasar untuk mengonfirmasi adanya suatu kejanggalan yang senantiasa hadir pada tata epistemik yang selama ini telah tertata (established). Kecurigaan ini perlu digaungkan sebagai jalan untuk menemukan, paling tidak, menawarkan suatu gugusan yang selama ini tidak pernah tersentuh sama sekali.


Maka, tidak menjadi suatu kondisi yang penuh kejanggalan pada saat apresiasi yang terlalu berlebihan lebih melekat pada tata epistemik sesuai dengan dimana kehidupan itu berlangsung. Dengan arti bahwa setiap glorifikasi yang tidak karuan akan berdampak pada pemosisian secara hierarkis, suatu kondisi dengan penuh dengan kebanggan akan suatu karya masterpiece yang itu sama sekali berasal bukan dari diri sendiri; falsafah kehidupan, kebudayaan, hingga nilai kultural yang (sengaja) dihilangkan untuk menggemakan epistemologi yang lain.

Tawaran ini tidak lain ihwal yang berkaitan dengan tata paradigma yang berlaku saat ini semakin jelas ke arah sentrifugal, dimana pergerakan itu mulai menjauh dan ketidaksadaran adalah bagian yang tidak terpisahkan. Apa yang kemudian menjadi fokus dalam membentuk suatu keterpengaruhan ini tidak lain karena proyek universalisasi yang semakin menguat sebagai jalan tol untuk menyandarkan diri sebagai bagian kelompok yang lebih besar. Oleh karena itu, alternatif lain yang perlu diperjelas adalah mengapa obskur kultural ini diperlukan sebagai pembahasan untuk menguak sistem yang sebelumnya telah tertata dengan sempurna dan menghadirkannya kembali dalam tata epistemik yang lebih kontekstual.


Alternatif Lain

Agaknya, istilah pembangkangan landasan epistemik (epistemic disobedience) sedikit mengundang kecurigaan terhadap unifikasi, universalisasi, dan homogenisasi sebagai mekanisme kontrol. Salah satu sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (2007), melontarkan tesis bahwa kuasa simbolik berperan penting dalam membentuk struktur kehidupan diarahkan pada satu titik tertentu; operasi ini dilakukan dengan kontrol terhadap segenap aktifitas kultural yang dianggap sebagai tatanan ideal. Akibatnya, apa yang selama ini dianggap sebagai bagian dari norma ideal, nyatanya, tidak lain merupakan obskuritas yang telah termodifikasi dengan sempurna. Apriori, dengan demikian, tidak lain sebagai alternatif untuk mencari suatu legitimasi, meski masih pada bayang-bayang imajinatif.


Pluriversalitas, pada sisi yang lain, sebagaimana yang disampaikan Mignolo, merupakan alternatif untuk menginisuasi kondisi masyarakat yang berada di bawah tekanan kuasa simbolik. Dengan memberi penekanan terhadap pluriveralitas—serangkaian proses untuk menggali, menemukan, dan mengaktualisasikan tata epistemik internal, guna memproyeksikan tata epistemik yang tidak latah dan mengekor dari gugusan nilai eksternal.


Dalam banyak hal, pluriversalitas menginisuasi persoalan ketidaksadaran yang selama ini terus direproduksi secara kontinyu. Sebagai contoh bagaimana pluriversalitas itu mewujud dalam struktur kebudayaan bisa dilihat masyarakat Jawa yang telah memprediksi suatu keadaan dunia dan segala tata isinya semakin tidak menentu. Dalam serat Kalatidha, salah satu karya fonemonal yang ditulis oleh Ronggowarsito, telah menawarkan suatu konsep dimana kehidupan duniawi semakin runyam, baik dari sisi tata sosial maupun lingkungan.


Serat tersebut, setidaknya, menawarkan suatu konsepsi akan kehidupan manusia yang semakin diposisikan sebaga sentral dalam semua lini. Akibatnya, logika untuk bisa menguasai adalah bagian integral yang melekat dalam diri manusia. Inilah kondisi dimana subjek modern menubuh dalam diri manusia. Maka, tidaklah menjadi suatu kemustahilan ketika perbincangan mengenai ekologi, misalnya, menempati strata yang sering dijadikan isu global. Jauh sebelum teoretisasi ekologi itu menjadi dominan, kontekstualisasi serat Kalatidha sebagai manifestasi produk kebudayaan telah mewujud secara spekulatif yang memungkinan untuk dikontekstualisasikan untuk hari ini.


Sebagai refleksi kritis, jalan lain dari apresiasi terhadap pluriversalitas adalah kesadaran akan nilai yang sebelumnya telah menjadi bagian dari paradigma lokalitas. Tidaklah menjadi anomali ketika lokalitas yang selama ini terkubur dalam dibangkitkan kembali sebagai manifestasi nilai yang penuh dengan landasan filosofis. Akhirnya, pluriversalitas menghendaki adanya epistem lokalitas yang bisa menjadi preferensi dalam menjangkau tata epistemik yang lebih dibutuhkan dan diaktualisasikan sebagai way of thinking seni bernalar


Budaya Lainnya