MUHAMMAD ADIB ABDUSHOMAD M.Ag, M.Ed, Ph.D
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah
menganugerahkan kepada kita berbagai
kenikmatan lahir dan batin, serta memuliakan kita dengan agama Islam yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian, keadilan, dan persaudaraan. Shalawat
serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, sang pembawa rahmat bagi seluruh alam,
kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh umatnya yang istiqamah dalam menapaki
jalan kebenaran hingga hari kiamat.
Pada kesempatan yang mulia ini, yaitu di hari Jumat yang disebut
oleh Rasulullah ﷺ sebagai
sayyidul-ayyām, khatib mengajak diri pribadi dan seluruh jamaah sekalian untuk
senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah dengan sebenar-benar takwa,
yaitu dengan menjalankan perintah- perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, dalam ruang-ruang pribadi maupun dalam tatanan kehidupan
sosial dan kebangsaan kita. Semoga ketakwaan itu menjadi bekal kita menuju
akhir yang husnul khātimah. Āmīn yā
Rabbal ‘ālamīn.
Jamaah yang dimuliakan Allah,
Salah satu nikmat besar yang Allah anugerahkan kepada kita sebagai
bangsa adalah nikmat hidup di tengah negara yang merdeka, berdaulat, dan
aman. Nikmat ini sering kali luput dari kesadaran kita, padahal justru inilah
syarat dasar bagi berlangsungnya kehidupan beragama, pendidikan, ekonomi, serta
berbagai aktivitas kebaikan lainnya. Maka mencintai dan mensyukuri tanah air adalah
bagian dari bentuk
syukur kepada Allah.
Ini bukan sekadar
ekspresi kebangsaan, tetapi juga tanggung jawab keimanan. Karena dalam
ajaran Islam, segala nikmat
yang diberikan Allah wajib disyukuri, dan salah satu
bentuk syukur adalah
dengan menjaga nikmat
tersebut agar tidak rusak dan musnah.
Allah berfirman dalam Surah Ibrāhīm ayat 7: “Jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dalam konteks keindonesiaan kita, mensyukuri nikmat tanah air ini
bukan hanya berarti mencintai negeri secara emosional, melainkan juga menjaga
stabilitas sosial, mencegah
perpecahan, serta membangun peradaban bangsa
melalui nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh Islam. Maka mencintai NKRI
adalah bagian dari iman, karena ia adalah bentuk konkret dari rasa syukur dan tanggung
jawab terhadap nikmat
aman, merdeka, dan berbangsa.
Sebagai bagian dari umat Islam
yang hidup di tengah
masyarakat Indonesia yang majemuk,
kita harus menyadari bahwa kerukunan dan persatuan adalah bagian integral dari cita-cita
Islam. Rasulullah ﷺ telah
mencontohkan hal tersebut ketika membangun masyarakat Madinah yang terdiri dari
berbagai suku dan agama, lalu dipersatukan dalam ikatan sosial yang
berlandaskan pada keadilan dan tanggung jawab kolektif.
Beliau mengajarkan bahwa umat Islam adalah satu tubuh, sebagaimana
sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Perumpamaan kaum mukminin dalam
hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi, seperti satu tubuh; apabila
satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya, tidak bisa
tidur dan merasakan demam.”
Inilah dasar dari Ukhuwah Islāmiyyah yang
sejati: kepedulian, empati, dan solidaritas.
Maka menjaga persatuan
bukan sekadar semboyan, tetapi bagian dari ajaran
Nabi. Dan sebaliknya, memecah belah umat, menebar kebencian, dan menyulut permusuhan atas nama apa pun, adalah
bentuk pengingkaran terhadap
ajaran Rasulullah ﷺ.
Beliau dengan tegas melarang umat Islam dari sifat-sifat destruktif itu. Dalam hadis
riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan: “Janganlah kalian saling membenci,
saling dengki, dan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara.”
Jamaah yang dirahmati Allah,
Sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa kemerdekaan dan kedaulatan negara
ini tidak diperoleh dengan mudah. Ia adalah buah dari perjuangan panjang para
pahlawan, termasuk para ulama dan santri yang tidak sedikit mengorbankan nyawa demi berdirinya NKRI. Maka mempertahankan
persatuan bangsa adalah bentuk penghormatan kepada para syuhada yang
telah gugur, dan juga bentuk ketaatan kepada
Allah dalam menjaga
amanah sejarah. Kita tidak boleh lengah,
apalagi sampai menjadi
bagian dari perusak bangunan besar ini hanya karena
kepentingan pribadi, kelompok, atau karena perbedaan pandangan politik.
Apabila kita ingin
melihat Indonesia terus
berdiri kokoh, maka jaga ukhuwah, jaga lisan dari fitnah, dan jaga
hati dari prasangka buruk. Jangan saling menuding, jangan saling menjatuhkan,
dan jangan mudah diadu domba. Sebab, musuh-musuh umat Islam dan bangsa ini tidak perlu
bersusah payah menghancurkan
negeri ini, jika kita sendiri yang saling mencabik persaudaraan.
Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Mengenal.
Ayat tersebut menegaskan bahwa perbedaan suku dan bangsa bukan alasan untuk saling merendahkan, melainkan
untuk saling mengenal dan membangun kedekatan dalam kebajikan. Maka
nasionalisme yang dibingkai dengan takwa adalah
ekspresi luhur dari keimanan yang matang.
Dari mimbar ini, izinkan khatib mengajak jamaah sekalian: mari kita perbarui komitmen kita terhadap negeri ini. Bukan sekadar loyalitas politik, tetapi tanggung jawab moral dan keimanan. Mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mempererat persaudaraan, memperkuat toleransi, dan mengisi ruang- ruang publik dengan akhlak yang mulia. Karena tidak akan ada peradaban besar tanpa fondasi yang kokoh berupa persatuan dan kedamaian.