Abdul Malik Karim Amrullah, Guru
Besar Manajemen Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Kementerian Pendidikan Tinggi,
Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek)
memperkenalkan program strategis bertajuk "Kampus Berdampak" sebagai
bagian dari upaya mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Program ini menegaskan
peran perguruan
tinggi yang tidak lagi hanya sebagai lembaga pendidikan dan riset,
tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang mampu mentransformasi
keilmuannya ke dalam kehidupan masyarakat secara nyata. Kampus Berdampak itu
adalah perguruan tinggi yang tidak hanya menghasilkan lulusan, publikasi, tidak
hanya me-generate kreasi-kreasi pengetahuan baru, tapi juga kampus yang
mengubah kehidupan masyarakat dan mentransformasi kehidupan masyarakat. Akan
tetapi, banyak yang agak sinis, jangan-jangan ini hanya beda diksi dan istilah
saja dengan kurikulum Merdeka, karena setiap ganti mentri, sudah dipastikan
ganti diksi dan istilah, dan kenyataannya sama dengan sebelumnya, tapi kita
tetap berfikir positif, tampaknya ada I’tikad baik dari pemerintah terutama
menghadapi tantangan dunia yang serba cepat dan memang tujuan akhirnya adalah
menuju pengembangan pendidikan tinggi telah disiapkan dengan peta jalan
pendidikan Indonesia Tahun 2025-2045 lingkup pendidikan tinggi.
Kementrian Agama juga bergerak di
wilayah nilai, Dimana Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. juga menekankan
integrasi agama dan sains, Menurutnya, integrasi antara ilmu agama dan
pengetahuan adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman dan membangun
peradaban yang lebih baik. "Generasi
muda harus memahami bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi mata uang
yang sama. Keduanya harus dipelajari secara seimbang untuk menciptakan
kehidupan yang harmonis dan berkemajuan”.
kita tentunya memahami bahwa
Perguruan Tinggi sebenarnya Lembaga yang menyiapkan sumberdaya manusia yang
siap untuk melakukan perubahan sosial Dimana mereka menempati, tentunya
perguruan tinggi terus memproduksi pengetahuan yang siap kerja dengan kurikulum
yang dirancangnya, juga siap menciptakan pengetahuan baru dengan
temuan-temuannya yang akhirnya disajikan dalam bentuk publikasi jurnal tertentu
agar bisa di baca dan di kaji para peneliti selanjutnya. Keberadaan Lembaga
pengelola jurnal itu sendiri juga berupaya menjadikan jurnalnya lebih
bereputasi dan memiliki impact factor agar terus dijadikan referensi peneliti
lainnya.
Jurnal Berdampak (Impact Factor)
belum menjadi landasan utama kebijakan universitas
Impact factor journal selama ini ternyata
hanya dijadikan ukuran frekuensi rata-rata artikel dalam sebuah jurnal yang
telah dikutip dalam periode waktu tertentu dan bukan impact socialnya,
semestinya Dampak ilmiah (impact) harus mampu menghasilkan penelitian
sebagai acuan bagi pembuat kebijakan, administrator universitas, lembaga
pendanaan, serta lainnya. Jurnal yang memiliki impact factor sebenarnya harus
dimanfaatkan sebagai referensi utama dalam merumuskan kebijakan, keberadaan
jurnal berdampak ini sangat efektif karena banyak yang tertarik mengkaji dengan
banyaknya sitasi yang di rujuk oleh banyak peneliti, sehingga semakin banyak
peneliti yang merujuk artinya hasil riset tersebut sudah menjadi pandangan umum
Masyarakat akademik, dan pandangan umum Masyarakat akademik ini bisa menjadi
dasar untuk merumuskan kebijakan bahkan untuk pengambilan Keputusan oleh
kampus.
Secara kuantitas, riset dan
publikasi ilmiah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data
Scimago Journal and Country Rank – yang diambil dari basis data Scopus –
menunjukkan, Indonesia telah menghasilkan 58.224 publikasi ilmiah pada 2023.
Ada kenaikan 28% dari tahun sebelumnya. Angka tersebut menjadikan Indonesia
menempati posisi ke-19 sebagai negara dengan publikasi ilmiah terbanyak. Ada
kenaikan peringkat Indonesia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. (Ke Mana Arah Larinya Riset-Riset di Indonesia?), hasil penelitian di Indonesia hanya sekedar recycle ide.
Artinya, peneliti-peneliti banyak yang menggunakan kembali
penelitian-penelitian sebelumnya tanpa ada unsur kebaruan dan juga kebanyakan
belum menjadi dasar kebijakan kampus untuk melakukan perubahan di Masyarakat.
Bagaimana misi Kementrian Agama
dalam menyikapi hal ini, mengingat Kementrian Agama mengusung jargon integrasi
agama dan sains, artinya hasil penelitian yang diproduksi dengan dua paradigma
yang “berbeda” ini harus mampu berkontribusi dalam menyelesaikan problematika
sosial. Sebagai muslim harus yakin bahwa nilai agama yang diusung dalam kitab
suci dan perilaku agung merupakan ajaran solutif, karenanya sekarang sudah
bukan waktunya lagi memperdebatkan paradigma antara agama dan sains, menurut
hemat penulis perguruan tinggi Islam harus sudah memulai penelitiannya dari
yang paling sederhana misalnya meneliti hewan yang di sembelih dengan di mulai
dengan basmalah satunya tidak dimulai dengan basmalah, bagaimana reaksi
kimianya. Hasil proses kimia tersebut kemudian dipublikasikan pada jurnal
kampus tidak harus jurnal scopus atau jurnal yang memiliki dampak lainnya,
karena nilai publikasi akan menjadi menarik jika hasil penelitiannya memberikan
sumbangsih nyata pada Masyarakat.
Hal-hal yang sederhana ini
semestinya sudah harus dimulai, karena sudah mulai muncul ilmuwan modern
seperti Profesor Yoshinori Ohsumi, seorang pemenang Nobel dalam bidang ilmu
fisiologi atau kedokteran, telah mengungkapkan manfaat luar biasa dari puasa bagi tubuh manusia. Di
bidang filologi juga di antara beberapa nama orientalis terkemuka adalah:
John Wansbrough (Quran), Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan Gautier
Juynboll (Hadis), Patricia Crone, Bernard Lewis, dan Hamilton Gibb (Politik),
Ernest Renan dan TJ D Boer (Filsafat), dan Norman Calder (Hukum Islam). Studi
mereka menggambarkan Islam dengan citra yang relatif lebih positif untuk
terutama dibandingkan dengan kesarjanaan dari periode sebelumnya. Sementara itu
di bidang antropologi, ada dua yang memperoleh pengakuan luas, pertama adalah
teori Clifford Geertz, dan yang kedua adalah Abdul Hamid El Zein. Dalam hal
ini, El-Zein menyatakan: “…we have to start from the native’s model of
“Islam” and analyze the relations which produce its meaning” (kita
harus mulai mengkaji Islam dengan melihat dari model lokal “Islam” dan
menganalisis hubungan-hubungan yang menghasilkan maknanya”.
Perubahan Paradigma kurikulum OBE
menjadi IBE
Unesco menetapkan bahwa Pendidikan
dan sains sebagai kontrak sosial, Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
(keterlibatan berabgai stakeholders), Pendidikan harus mampu menyelesaikan
masalah bersama (kriris iklim, perdamaian, teknologi industri, dan lainnya).
Mengetahui kompleksitas masalah sosial adalah langkah awal yang penting dalam
upaya mencapai dampak sosial yang lebih luas. Masalah-masalah seperti
kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, dan kesehatan masyarakat seringkali
tidak dapat dipecahkan hanya melalui pendekatan dari satu disiplin ilmu saja.
Dalam banyak kasus, masalah-masalah ini bersifat lintas disiplin, melibatkan
faktor-faktor yang kompleks dan saling terkait dari berbagai bidang keilmuan.
Oleh karena itu, kolaborasi antarbidang menjadi sangat penting dalam mencari
solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Kolaborasi antarbidang memungkinkan
untuk memadukan keahlian dan perspektif dari berbagai disiplin ilmu. Misalnya,
dalam menangani masalah kesehatan masyarakat, diperlukan pemahaman yang
mendalam tentang aspek biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi dari
kesehatan. Kolaborasi antara ahli kedokteran, sosiologi, psikologi, ekonomi,
dan bidang lainnya memungkinkan untuk menyatukan berbagai perspektif ini dalam
mengembangkan strategi intervensi yang lebih holistik.
Kurikulum yang di rancang pun masih
menggunakan paradigma OBE (Outcome Based Education) bukan IBE (Impact
Based Education), tentunya alat ukur keduanya berbeda, jika OBE diukur
seberapa banyak lulusan Universitas bisa di terima di dunia, kerja dan bukan
seberapa banyak lulusan yang mampu melakukan sebuah perubahan sosial yang
berdampak pada pemahaman dan kesejahteraan Masyarakat. Jadi kampus harus
menetapkan indicator lulusannya bagaimana mereka melakukan transformasi hasil
belajarnya untuk melakukan perubahan di Masyarakat, tentunya kampus tidak bisa
menetapkan langsung 100% hasil penelitian, katakanlah universitas menetapkan
setiap tahunnya 5% hasil penelitiannya bisa berdampak pada Masyarakat, dan
tentunya dampaknya harus target yang paling rasional dan mampu diukur, kemudian
dijadikan focus penelitian atau pengabdian Masyarakat sebagai tindaklanjutnya.
Universitas harus mampu
mengintegrasikan kurikulumnya antara kebutuhan Masyarakat dengan capaian
pembelajaran lulusannya, tentunya kolaborasi antara Masyarakat sebagai user
(pengguna lulusan) dengan program studi yang memiliki target perubahan perilaku
sosial harus bersinergi untuk membangun komitmen bersama untuk sebuah aksi
perubahan. Konsep Khoirun Nas Anfa’uhum Linnas : sebaik-baik manusia
adalah manusia yang paling bermanfaat”, konsep ini memiliki konsekuensi logis
yaitu Islam harus transformative dan berdampak, karenanya pembelajaran dalam
Islam harus melahirkan model berfikir yang transformatif,
Pembelajaran yang dikembangkan harus
transformatif Dimana harus ada semacam “hilirisasi konsep pembelajaran” dalam
semua mata kuliah yang diajarkan dengan pendekatan yang dimulai dari Understanding-explain
cause-relate-create-refelect and formulate, mulai dari pemahaman obyek,
kemudian bagaimana proses penyadaran terhadap obyek tersebut, kemudian
bagaimana obyek tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, dan
akhirnya mahasiswa memiliki rencana aksi dalam obyek yang dikembangkan dalam
mata kuliah tertentu, artinya minset mahasiswa betul-betul diarahkan secara
masif dengan pendekatan transformatif.
Kampus sebagai simpul pertumbuhan
ekonomi
Bagaimana peran perguruan tinggi
agar bisa menjadi simpul pertumbuhan ekonomi, maka Perguruan tinggi tidak hanya
menghasilkan lulusan siap kerja, tetapi juga menjadi pusat inovasi, riset, dan
kolaborasi yang mendukung industrialisasi serta pengembangan ilmu pengetahuan
di tingkat nasional dan internasional, itu artinya perguruan tinggi harus
melahirkan SDM yang unggul dan kompetitif.
Negara maju pembangunannya ditopang
dengan adanya SDM unggul, berdaya saing, dan menguasai ilmu pengetahuan, Karena
itulah, perguruan tinggi menjadi tumpuan. Kita lihat saja IPM menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) kita mengalami peningkatan dari 74,39 tahun 2023 menjadi
75,02 tahun 2024 meningkat 0,63 poin atau 0,85 % dibanding tahun sebelumnya,
secara pemeringkatan jika dibandingkan tahun 2021 masih 114 dan tahun 2024
mengalami peningkatan peringkat 112 dari 191 negara juga Indek daya saing
global Indonesia masih diperingkat 34 masih kalah dengan Thailand peringkat 30,
Malaysia 27 dan Singapura 4 tahun 2021. Tahun 2024 mengalami peningkatan berada
pada peringkat 27 dari 67 negara dan menggeser Malaysia.
Dalam pengembangan pendidikan
tinggi, tidak hanya peningkatan akses ke perguruan tinggi yang berkualitas dan
relevan akan tetapi dibutuhkan juga pemetaan bidang keilmuan dan keahlian yang
mendukung prioritas pembangunan dunia usaha dan dunia indutri atau pasar kerja
nasional. Salah satunya dengan memperkuat keilmuan di bidang sains,
teknologi, engineering/teknik, arts/seni dan matematika
(STEM/STEAM) yang proporsinya masih sekitar 40 persen dibandingkan bidang
sosial humaniora yang berkisar 60 persen.
Bagaimana dengan perguruan tinggi
Islam, tentu sangat ditunggu-tunggu kontribusi nyatanya, Dimana Islam
sebenarnya mengajarkan tentang bagaimana hidup yang tidak materialistis, karena
tujuan hidup manusia adalah untuk pengabdian kepada sang maha Pencipta yang
sudah menciptakan alam semesta dan tugas manusia harus menjadi khalifah di muka
bumi untuk memeliharanya agar tidak rusak. Konsep ekonomi Islam lebih bermakna
pada memberikan manfaat daripada mengekploitasi, karenanya sudah saatnya
perguruan tinggi Islam memulainya dari lingkaran yang paling kecil, mulai dari
pengembangan mental individu sampai lingkaran yang paling besar yaitu
Masyarakat,