Abdul Malik Karim Amrullah,
Guru Besar bidang Manajemen Pendidikan Islam, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Sepanjang sejarah, masjid memiliki
peran penting dalam menyelesaikan berbagai masalah, seperti masalah lingkungan,
melalui berbagai aktivitas yang berdampak pada peningkatan perilaku masyarakat,
masjid
sebagai pusat segala aktivitas ini tidak lepas dari peran dan fungsi masjid
yang secara esensial sebagai lembaga pengembangan spiritual kaum muslimin di
seluruh dunia. Diharapkan dari fungsi inilah segala kegiatan yang bersifat
duniawi akan selalu tertambatkan pada dimensi-dimensi ketuhanan.
Masjid merupakan bangunan kelembagaan pertama yang di bangun
dengan minset Taqwa yang di dalamnya harus melahirkan orang yang memiliki hati
dan pikiran yang positif untuk selalu meningkatkan produktivitasnya. Menurut Dr
Qais Abdul Wahed dalam disertasinya The Four Mosques and Their Influence on
Building the Arabic Islamic “Bahwa masjid adalah sebuah institusi
ilmiah dan konstitusional tempat para sahabat Nabi berkumpul, juga tempat yang
digunakan untuk pertemuan-pertemuan, di atas mimbar diadakan diskusi berkisar
tentang pengajaran dan pembelajaran, juga menjadi pusat sosial yang difungsikan
oleh orang-orang Islam untuk belajar norma-norma, kesamaan sosial serta
digunakan untuk menyatukan rasa persaudaraan,
Kita mengetahui bahwa Perguruan Tinggi Islam pertama yang
kita kenal dengan konsep Jami’ah merupakan sebuah Lembaga yang berawal dari
sebuah Masjid, kita lihat saja Universitas Al-Qarawiyyin (Jami'ah
Al-Qarawiyyin), Perguruan tinggi yang berada di kota Fez, Maroko itu didirikan
pada tahun 859 M, kemudian Universitas al-Azhar merupakan institusi pendidikan,
sekaligus masjid yang didirikan di Kairo pada masa Khalifah Dinasti Fatimiyah,
al-Mu’izz li-Din Allah (w. 975). Sekarang universitas tersebut dikenal sebagai
universitas agama paling penting di dunia Islam. Selain itu, al-Azhar juga
termasuk salah satu universitas paling tua yang mempelajari ilmu agama dan
umum. Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Universitas al-Azhar di
Mesir", https://wawasansejarah.com/sejarah-universitas-al-azhar/
Dari sini kita lihat bahwa peran
masjid sangat sentral dalam membangun peradaban yang luhur. Selain itu juga
jika kita tengok sejarah bagaimana sarjana muslim dalam masa keemasan juga
sangat mendominasi, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, ilmuwan
muslim saat itu memiiki peran yang sangat signifikan yang menjadi symbol
peradaban islam menjadi penerang peradaban dunia dengan temuan-temuan
penelitiannya.
Di Indonesia sendiri berdirinya Universitas Islam pertama
juga ditandai dengan berdirinya sebuah masjid. Keinginan umat Islam untuk
mendirikan sebuah perguruan tinggi pertama kali diserukan oleh Satiman sebagai
salah satu agenda Kongres al-Islam II yang diadakan Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) pada tahun 1939. Pada tanggal 29 Januari 1943, para pemimpin
MIAI mengadakan pertemuan yang menghasilkan tiga program, yaitu: (1) Membangun
sebuah Masjid Agung sebagai simbol bagi umat Islam Indonesia. (2) Mendirikan
sebuah universitas Islam, dan (3) Membangun sebuah kantor perbendaharaan Islam
pusat (Bait al-Mal) untuk menerima zakat dan menyalurkannya kepada masyarakat
yang membutuhkan. Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Perguruan Tinggi
Islam di Indonesia", https://wawasansejarah.com/sejarah-perguruan-tinggi-islam/
Berdirinya sekolah tinggi Islam kemudian beralih menjadi UII
22 Maret kemudian lahirnya PTAIN Pada
tanggal 14 Agustus 1950 Fakultas Agama yang semula ada di UII diserahkan kepada
pemerintah, kemudian juga didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta
pada tanggal 1 Juni 1957, dengan visi : “Guna mendidik dan mempersiapkan
pegawai negeri yang akan mencapai ijazah pendidikan semi-akademi dan akademi
untuk dijadikan ahli-didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum,
maupun kejuruan dan agama”. Kemudian
PTAIN dan ADIA dilebur menjadi IAIN, kemudian awal tahun 2000 IAIN diberikan
mandat yang lebih luas atau terkenal dengan istilah IAIN with wider-mandate,
kemudian direspon dengan munculnya Gerakan untuk mengintegrasikan antara Ilmu
Pengetahuan dan Agama yaitu dengan munculnya UIN Jakarta, UIN Jogjakarta dan
UIN Malang, maka jelaslah bahwa ada cita-cita luhur bahwa PTAIN harus
integratif dan tidak dikotomik, selain itu juga membangun kemandirian Lembaga,
jika kita lihat Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1943 yaitu membangun
pusat Baitul Mal.
Masjid juga harus menjadi media untuk menyampaikan hasil-hasil riset civitas akademika Universitas Islam sekaligus menjadi pusat kajian ilmu-ilmu filsafat islam yang selama ini mulai ditinggalkan, kajian kitab karya Imam Ghozali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibn Miskawaih dan lain sebagainya. Kita sering mengkaji al-Qur’an dan hadis tentang istilah Nutfah (sperma), Mudghoh (segumpal darah), Allaq, Dzarrah (atom), kemudian bagaimana reaksi kimia jika hewan di sembelih dengan bismillah dan satunya tidak melafalkan lafadz bismillah, dan lain sebagainya, akan tetapi tidak pernah kita meneliti itu, kenapa karena budaya riset belum terbangun yaitu membangun komitmen untuk mendekatkan diri pada Allah sang Pencipta Alam Semesta, artinya budaya riset itu bagaimana perguruan tinggi mampu membangun iklim akademik sehingga ada kesadaran civitas akademika untuk menggali lebih lanjut, sehingga hasil penelitian itu akhirnya mereka sadar bahwa Allah menciptakan dunia dan seisinya ini tidaklah sia-sia, karenanya masjid harus menjadi ruh universitas Islam untuk mengembangkan integrasi keilmuwan antara agama dan science.