Perguruan Tinggi Islam; dari Masjid menuju Peradaban Luhur

Admin Pendidikan 06 May 2025 230 kali dibaca
Perguruan Tinggi Islam; dari Masjid menuju Peradaban Luhur

Perguruan Tinggi Islam; dari Masjid menuju Peradaban Luhur

Abdul Malik Karim Amrullah,

Guru Besar bidang Manajemen Pendidikan Islam, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Sepanjang sejarah, masjid memiliki peran penting dalam menyelesaikan berbagai masalah, seperti masalah lingkungan, melalui berbagai aktivitas yang berdampak pada peningkatan perilaku masyarakat, masjid sebagai pusat segala aktivitas ini tidak lepas dari peran dan fungsi masjid yang secara esensial sebagai lembaga pengembangan spiritual kaum muslimin di seluruh dunia. Diharapkan dari fungsi inilah segala kegiatan yang bersifat duniawi akan selalu tertambatkan pada dimensi-dimensi ketuhanan.

Masjid merupakan bangunan kelembagaan pertama yang di bangun dengan minset Taqwa yang di dalamnya harus melahirkan orang yang memiliki hati dan pikiran yang positif untuk selalu meningkatkan produktivitasnya. Menurut Dr Qais Abdul Wahed dalam disertasinya The Four Mosques and Their Influence on Building the Arabic Islamic “Bahwa masjid adalah sebuah institusi ilmiah dan konstitusional tempat para sahabat Nabi berkumpul, juga tempat yang digunakan untuk pertemuan-pertemuan, di atas mimbar diadakan diskusi berkisar tentang pengajaran dan pembelajaran, juga menjadi pusat sosial yang difungsikan oleh orang-orang Islam untuk belajar norma-norma, kesamaan sosial serta digunakan untuk menyatukan rasa persaudaraan,

Kita mengetahui bahwa Perguruan Tinggi Islam pertama yang kita kenal dengan konsep Jami’ah merupakan sebuah Lembaga yang berawal dari sebuah Masjid, kita lihat saja Universitas Al-Qarawiyyin (Jami'ah Al-Qarawiyyin), Perguruan tinggi yang berada di kota Fez, Maroko itu didirikan pada tahun 859 M, kemudian Universitas al-Azhar merupakan institusi pendidikan, sekaligus masjid yang didirikan di Kairo pada masa Khalifah Dinasti Fatimiyah, al-Mu’izz li-Din Allah (w. 975). Sekarang universitas tersebut dikenal sebagai universitas agama paling penting di dunia Islam. Selain itu, al-Azhar juga termasuk salah satu universitas paling tua yang mempelajari ilmu agama dan umum. Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Universitas al-Azhar di Mesir", https://wawasansejarah.com/sejarah-universitas-al-azhar/

Dari sini kita lihat bahwa peran masjid sangat sentral dalam membangun peradaban yang luhur. Selain itu juga jika kita tengok sejarah bagaimana sarjana muslim dalam masa keemasan juga sangat mendominasi, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan, ilmuwan muslim saat itu memiiki peran yang sangat signifikan yang menjadi symbol peradaban islam menjadi penerang peradaban dunia dengan temuan-temuan penelitiannya.

Di Indonesia sendiri berdirinya Universitas Islam pertama juga ditandai dengan berdirinya sebuah masjid. Keinginan umat Islam untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi pertama kali diserukan oleh Satiman sebagai salah satu agenda Kongres al-Islam II yang diadakan  Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1939. Pada tanggal 29 Januari 1943, para pemimpin MIAI mengadakan pertemuan yang menghasilkan tiga program, yaitu: (1) Membangun sebuah Masjid Agung sebagai simbol bagi umat Islam Indonesia. (2) Mendirikan sebuah universitas Islam, dan (3) Membangun sebuah kantor perbendaharaan Islam pusat (Bait al-Mal) untuk menerima zakat dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan. Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia", https://wawasansejarah.com/sejarah-perguruan-tinggi-islam/

Berdirinya sekolah tinggi Islam kemudian beralih menjadi UII 22 Maret  kemudian lahirnya PTAIN Pada tanggal 14 Agustus 1950 Fakultas Agama yang semula ada di UII diserahkan kepada pemerintah, kemudian juga didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1957, dengan visi : “Guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri yang akan mencapai ijazah pendidikan semi-akademi dan akademi untuk dijadikan ahli-didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum, maupun kejuruan dan agama”.  Kemudian PTAIN dan ADIA dilebur menjadi IAIN, kemudian awal tahun 2000 IAIN diberikan mandat yang lebih luas atau terkenal dengan istilah IAIN with wider-mandate, kemudian direspon dengan munculnya Gerakan untuk mengintegrasikan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama yaitu dengan munculnya UIN Jakarta, UIN Jogjakarta dan UIN Malang, maka jelaslah bahwa ada cita-cita luhur bahwa PTAIN harus integratif dan tidak dikotomik, selain itu juga membangun kemandirian Lembaga, jika kita lihat Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1943 yaitu membangun pusat Baitul Mal.

Masjid juga harus menjadi media untuk menyampaikan hasil-hasil riset civitas akademika Universitas Islam sekaligus menjadi pusat kajian ilmu-ilmu filsafat islam yang selama ini mulai ditinggalkan, kajian kitab karya Imam Ghozali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibn Miskawaih dan lain sebagainya. Kita sering mengkaji al-Qur’an dan hadis tentang istilah Nutfah (sperma), Mudghoh (segumpal darah), Allaq, Dzarrah (atom), kemudian bagaimana reaksi kimia jika hewan di sembelih dengan bismillah dan satunya tidak melafalkan lafadz bismillah, dan lain sebagainya, akan tetapi tidak pernah kita meneliti itu, kenapa karena budaya riset belum terbangun yaitu membangun komitmen untuk mendekatkan diri pada Allah sang Pencipta Alam Semesta, artinya budaya riset itu bagaimana perguruan tinggi mampu membangun iklim akademik sehingga ada kesadaran civitas akademika untuk menggali lebih lanjut, sehingga hasil penelitian itu akhirnya mereka sadar bahwa Allah menciptakan dunia dan seisinya ini tidaklah sia-sia, karenanya masjid harus menjadi ruh universitas Islam untuk mengembangkan integrasi keilmuwan antara agama dan science.

Pendidikan Lainnya