Abdul Malik Karim Amrullah (Guru Besar Manajemen Pendidikan
Islam, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Isu sentral hari ini adalah tentang efisiensi anggaran yang
tertuang dalam Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi
Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 menjadi landasan
bagi upaya pemerintah melakukan penghematan anggaran negara. Penghematan ini tentunya
berdampak di semua sektor salah satunya sektor Pendidikan baik Pendidikan
dasar, menengah sampai Pendidikan Tinggi. Dikutip dalam Kompas 14 februari
2025, salah satu potensi akibat dampak efisiensi ini adalah kenaikan UKT (Uang
Kuliah Tunggal), Dalam rapat, pemangkasan anggaran
di Kemdikti Saintek yang semula direncanakan sebesar 22,5 triliun rupiah diubah
menjadi sekitar 14,3 triliun rupiah. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan
Teknologi, Satryo Soemantri Brojonegoro, menyampaikan efisiensi yang telah
dilakukan Dirjen Anggaran pada bantuan sosial beasiswa sebesar 9 persen. Anggaran
untuk tunjangan dosen non-PNS dipangkas 25 persen. Bahkan, anggaran layanan
publik untuk perguruan
tinggi dipangkas hingga 50 persen.
Bagaimana perguruan tinggi menyikapi isu ini, tentunya kita
harus memahami bahwa Perguruan Tinggi memainkan peran sentral dalam Pembangunan
sumber daya manusia, berdaya saing global, berfikir kritis, kreatif, dan mampu
memecahkan masalah (problem solver) yang holistic. Pada saat bersamaan,
keterbatasan anggaran akibat dampak efisiensi dari pemerintah menjadi tantangan
utama bagi perguruan tinggi untuk mewujudkan tujuan mulia ini. Kita tahu bahwa Efisiensi
merupakan Upaya memaksimalkan hasil dari sebuah pekerjaan dengan sedikit sumber
daya berupa dana, teaga, atau waktu.
Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatasi tantangan
tersebut yaitu memberikan peluang kemandirian “fleksibilitas” dalam pengelolaan
keuangan. Setidaknya dalam pengelolaan manajemen kelembagaan di perguruan
tinggi negeri ada tiga kulster yaitu PTN Satker, PTN BLU, dan PTN-BH. Secara
teoritik menurut Slamet;2025 PTN Satker lebih cenderung pada konsep government
Agency, sementara PTN -BLU dan PTN-BH lebih cenderung menerapkan konsep Agencification.
Agencification menekankan pada prinsip New Public Management
dan mengintenrnalisasikan Bureucratic Enterpreunership. Menyikapi
hal ini memang “seharusnya” perguruan tinggi negeri sudah harus mulai menata
manajemen kelembagaannya setidaknya dengan model PTN BLU atau bahkan sudah PTN
BH jika “merasa” sudah siap.
Model PTN BLU setidaknya menjadi model yang “aman”
mengantisipasi efisiensi anggaran dari pemerintah, hanya saja menggeser
paradigma dari PTN Satker ke PTN BLU tidaklah mudah karena masih banyak
hambatannya antara lain perilaku kepemimpinan yang biasa hanya sebagai menara
gading kampus hanya duduk di kantor dan rapat saja, harus dituntut untuk selalu
bergerak dan memahami problem di lapangan dan segera melakukan pemecahan masalah.
Selain kepemimpinan tentunya perubahan tata Kelola terutama
SDM dimana penempatan sumber daya manusia harus sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya serta harus mulai melaksanakan profesionalisme dan kompetensi, karena
dengan profesionalisme itu setidaknya organisasi memiliki analisis jabatan dan
kemampuan karyawan dalam memaksimalkan layanan kepada Masyarakat.
Membangun Mental Mandiri
Selanjutnya adalah membangun mental SDM itu jauh lebih
penting ketimbang berbicara tentang asset, karena hakikat dari mandiri itu
sebenarnya membangun mental agar mampu menyelesaikan persoalannya sendiri,
tentunya mental problem solver itu akan mengikis gaya bekerja yang masih
membutuhkan banyak tenaga, satu orang mampu menyelesaikan pekerjaannya secara
professional, sehingga bisa berimbas pada kegiatan yang biasanya diselesaikan
dengan “kepanitiaan yang gemuk”, bisa teratasi dengan postur kepanitiaan yang lebih
ramping, sehingga variable biaya bisa dikendalikan.
PTN BLU setidaknya diberikan mandat untuk memberdayakan tangible
dan intangible asset secara ekonomi, serta melaksanakan praktek bisnis
layaknya korporasi (profit oriented) untuk membangun kemandirian atau
mengurangi ketergantungan kepada pemerintah, khususnya dalam hal pendanaan.
Kemandirian sebenarnya sebuah mental kemampuan individu atau organisasi untuk
mengatur hidupnya sendiri, membuat keputusan, dan mengambil tanggung jawab atas
tindakan dan pilihan mereka, atau lebih sederhana mandiri adalah kemampuan
untuk bertahan dan berkembang dalam hidup tanpa mengandalkan terlalu banyak
bantuan dari orang lain.
Dorongan Kemenag PTN Satker menuju PTN BLU; Sudah
Efektifkah?
Di kemenag sendiri ada 28 Satker PTKIN-BLU dari 59 Perguruan
Tinggi Islam Negeri lainnya, itu artinya Kemenag sudah mampu memberdayakan
hampir 50% PTKIN untuk menjadi Lembaga yang mandiri, akan tetapi ada sedikit
pekerjaan rumah yang segera ditangani oleh Kemenag dari hasil Monev ysng
dilakukan Direktur pembinaan PPK BLU Ririn Kadariyah juga menjelaskan bahwa
hasil monev BLU PTKIN dalam hal hasil kinerja keuangan dilaporkan bahwa terjadi
adanya indikasi penumpukan kas BLU dan juga kurangnya digitalisasi pengelolaan
keuangan dan layanan BLU. "Selain itu juga kurang optimalnya penempatan
idle cash karena evaluasi rutin kegiatan belum dilaksanakan dan diintegrasikan
dengan perencanaan keuangan”.
Disini sangat menarik tentang idle cash, idle cash adalah
dana yang menganggur atau tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu. Tidak
hanya di Kemenag akan tetapi terjadi pula di Pemda, sebagaimana disampaikan
oleh Sri Mulyani Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pola belanja anggaran pendapatan
belanja daerah (APBD) masih business as usual dan tertumpu di
triwulan keempat sehingga mendorong terjadinya idle cash di
daerah. Hingga Juli 2021, pemerintah melihat ada Rp 173,73 triliun idle
cash pemda yang masih tersimpan di bank. Selain itu, pola belanja
daerah tercecer di ratusan ribu kegiatan sehingga hasilnya tidak dirasakan
maksimal oleh masyarakat.
Sebenarnya PTKIN bisa menyelesaikan problem ini dengan
investasi, Sebelum memilih instrumen
investasi, perlu menentukan tentang tujuan investasi yang akan dilakukan.
Apakah ingin mengumpulkan dana darurat, dana pensiun, atau tujuan lainnya. Dan
juga perguruan tinggi tetap memperhatikan regulasi yang ada agar tidak menjerat
dalam persoalan hukum. Selain itu, juga dapat melihat dahulu jangka waktu
investasi yang dibutuhkan dan seberapa besar risiko yang bisa ditoleransi. Perguruan Tinggi juga perlu
melihat seberapa besar idle cash yang akan investasikan. Semakin besar dana
yang di punya, semakin banyak instrumen investasi yang bisa dipilih. Dan
semakin besar idle cash yang investasikan, maka potensi keuntungan juga akan
semakin besar.
Setidaknya dengan prinsip kemandirian tersebut, maka
perguruan tinggi di bawah Kemenag akan mampu menyongsong kebijakan efisiensi
dari pemerintah, asal perguruan tinggi mampu membangun model organisasi dan
tata kerja yang holistic dan integrative yang disebut oleh Slamet; 2025 dengan
Integrated Divisional-Hierarchy Structure Model dalam rangka meningkatkan
kualitas layanan Pendidikan tinggi.
Menurut Slamet (2025) menyebutkan bahwa untuk menjadikan PT
yg kompetitif, agile, responsive, dinamika masyarakat, dan kualitas layanan
berkelanjutan, salah satu solusi ada membangun kemandirian. Kemandirian harus
dibangun bagaimana mengelola sumber daya secara otonom dan bagaimana menggali
potential of revenue mix. Namun,
kemandirian harus dikembangkan dengan misi korporasi (mencari keuntungan),
sementara filosofi PT memiliki misi
nirlaba (tdk bermaksud mencari keuntungan). Untuk mewujudkan kemandirian
dan layanan pendidikan tinggi secara holistik, Slamet mengusulkan Integrated Divisional-Hierarchy Structure
Model. Dimana dalam satu structural yaitu menggabungkan dua divisi secara holistik.
Tentunya dengan integrasi ini akan berdampak pada struktur kelembagaan yang
lebih efisien, misalnya wakil rector bidang akademik, kesiswaan yang biasanya
berdiri sendiri-sendiri cukup dijadikan satu saja.