Kebijakan Kampus Berdampak dan Peran Perguruan Tinggi Islam

Admin Pendidikan 25 May 2025 181 kali dibaca
Kebijakan Kampus Berdampak dan Peran Perguruan Tinggi Islam

Kebijakan Kampus Berdampak dan Peran Perguruan Tinggi Islam

Abdul Malik Karim Amrullah, Guru Besar Manajemen Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) memperkenalkan program strategis bertajuk "Kampus Berdampak" sebagai bagian dari upaya mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Program ini menegaskan peran perguruan tinggi yang tidak lagi hanya sebagai lembaga pendidikan dan riset, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang mampu mentransformasi keilmuannya ke dalam kehidupan masyarakat secara nyata. Kampus Berdampak itu adalah perguruan tinggi yang tidak hanya menghasilkan lulusan, publikasi, tidak hanya me-generate kreasi-kreasi pengetahuan baru, tapi juga kampus yang mengubah kehidupan masyarakat dan mentransformasi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, banyak yang agak sinis, jangan-jangan ini hanya beda diksi dan istilah saja dengan kurikulum Merdeka, karena setiap ganti mentri, sudah dipastikan ganti diksi dan istilah, dan kenyataannya sama dengan sebelumnya, tapi kita tetap berfikir positif, tampaknya ada I’tikad baik dari pemerintah terutama menghadapi tantangan dunia yang serba cepat dan memang tujuan akhirnya adalah menuju pengembangan pendidikan tinggi telah disiapkan dengan peta jalan pendidikan Indonesia Tahun 2025-2045 lingkup pendidikan tinggi. 

Kementrian Agama juga bergerak di wilayah nilai, Dimana Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. juga menekankan integrasi agama dan sains, Menurutnya, integrasi antara ilmu agama dan pengetahuan adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman dan membangun peradaban yang lebih baik. "Generasi muda harus memahami bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya harus dipelajari secara seimbang untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan berkemajuan”.

kita tentunya memahami bahwa Perguruan Tinggi sebenarnya Lembaga yang menyiapkan sumberdaya manusia yang siap untuk melakukan perubahan sosial Dimana mereka menempati, tentunya perguruan tinggi terus memproduksi pengetahuan yang siap kerja dengan kurikulum yang dirancangnya, juga siap menciptakan pengetahuan baru dengan temuan-temuannya yang akhirnya disajikan dalam bentuk publikasi jurnal tertentu agar bisa di baca dan di kaji para peneliti selanjutnya. Keberadaan Lembaga pengelola jurnal itu sendiri juga berupaya menjadikan jurnalnya lebih bereputasi dan memiliki impact factor agar terus dijadikan referensi peneliti lainnya.

Jurnal Berdampak (Impact Factor) belum menjadi landasan utama kebijakan universitas

Impact factor journal selama ini ternyata hanya dijadikan ukuran frekuensi rata-rata artikel dalam sebuah jurnal yang telah dikutip dalam periode waktu tertentu dan bukan impact socialnya, semestinya Dampak ilmiah (impact) harus mampu menghasilkan penelitian sebagai acuan bagi pembuat kebijakan, administrator universitas,  lembaga pendanaan, serta lainnya. Jurnal yang memiliki impact factor sebenarnya harus dimanfaatkan sebagai referensi utama dalam merumuskan kebijakan, keberadaan jurnal berdampak ini sangat efektif karena banyak yang tertarik mengkaji dengan banyaknya sitasi yang di rujuk oleh banyak peneliti, sehingga semakin banyak peneliti yang merujuk artinya hasil riset tersebut sudah menjadi pandangan umum Masyarakat akademik, dan pandangan umum Masyarakat akademik ini bisa menjadi dasar untuk merumuskan kebijakan bahkan untuk pengambilan Keputusan oleh kampus.

Secara kuantitas, riset dan publikasi ilmiah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data Scimago Journal and Country Rank – yang diambil dari basis data Scopus – menunjukkan, Indonesia telah menghasilkan 58.224 publikasi ilmiah pada 2023. Ada kenaikan 28% dari tahun sebelumnya. Angka tersebut menjadikan Indonesia menempati posisi ke-19 sebagai negara dengan publikasi ilmiah terbanyak. Ada kenaikan peringkat Indonesia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. (Ke Mana Arah Larinya Riset-Riset di Indonesia?), hasil penelitian di Indonesia hanya sekedar recycle ide. Artinya, peneliti-peneliti banyak yang menggunakan kembali penelitian-penelitian sebelumnya tanpa ada unsur kebaruan dan juga kebanyakan belum menjadi dasar kebijakan kampus untuk melakukan perubahan di Masyarakat.

Bagaimana misi Kementrian Agama dalam menyikapi hal ini, mengingat Kementrian Agama mengusung jargon integrasi agama dan sains, artinya hasil penelitian yang diproduksi dengan dua paradigma yang “berbeda” ini harus mampu berkontribusi dalam menyelesaikan problematika sosial. Sebagai muslim harus yakin bahwa nilai agama yang diusung dalam kitab suci dan perilaku agung merupakan ajaran solutif, karenanya sekarang sudah bukan waktunya lagi memperdebatkan paradigma antara agama dan sains, menurut hemat penulis perguruan tinggi Islam harus sudah memulai penelitiannya dari yang paling sederhana misalnya meneliti hewan yang di sembelih dengan di mulai dengan basmalah satunya tidak dimulai dengan basmalah, bagaimana reaksi kimianya. Hasil proses kimia tersebut kemudian dipublikasikan pada jurnal kampus tidak harus jurnal scopus atau jurnal yang memiliki dampak lainnya, karena nilai publikasi akan menjadi menarik jika hasil penelitiannya memberikan sumbangsih nyata pada Masyarakat.

Hal-hal yang sederhana ini semestinya sudah harus dimulai, karena sudah mulai muncul ilmuwan modern seperti Profesor Yoshinori Ohsumi, seorang pemenang Nobel dalam bidang ilmu fisiologi atau kedokteran, telah mengungkapkan manfaat luar biasa dari puasa bagi tubuh manusia. Di bidang filologi juga di antara beberapa nama orientalis terkemuka adalah:  John Wansbrough (Quran), Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan Gautier Juynboll (Hadis), Patricia Crone, Bernard Lewis, dan Hamilton Gibb (Politik), Ernest Renan dan TJ D Boer (Filsafat), dan Norman Calder (Hukum Islam). Studi mereka menggambarkan Islam dengan citra yang relatif lebih positif untuk terutama dibandingkan dengan kesarjanaan dari periode sebelumnya. Sementara itu di bidang antropologi, ada dua yang memperoleh pengakuan luas, pertama adalah teori Clifford Geertz, dan yang kedua adalah Abdul Hamid El Zein. Dalam hal ini, El-Zein menyatakan: “…we have to start from the native’s model of “Islam” and analyze the relations which produce its meaning” (kita harus mulai mengkaji Islam dengan melihat dari model lokal “Islam” dan menganalisis hubungan-hubungan yang menghasilkan maknanya”.

Perubahan Paradigma kurikulum OBE menjadi IBE

Unesco menetapkan bahwa Pendidikan dan sains sebagai kontrak sosial, Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama (keterlibatan berabgai stakeholders), Pendidikan harus mampu menyelesaikan masalah bersama (kriris iklim, perdamaian, teknologi industri, dan lainnya). Mengetahui kompleksitas masalah sosial adalah langkah awal yang penting dalam upaya mencapai dampak sosial yang lebih luas. Masalah-masalah seperti kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, dan kesehatan masyarakat seringkali tidak dapat dipecahkan hanya melalui pendekatan dari satu disiplin ilmu saja. Dalam banyak kasus, masalah-masalah ini bersifat lintas disiplin, melibatkan faktor-faktor yang kompleks dan saling terkait dari berbagai bidang keilmuan. Oleh karena itu, kolaborasi antarbidang menjadi sangat penting dalam mencari solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Kolaborasi antarbidang memungkinkan untuk memadukan keahlian dan perspektif dari berbagai disiplin ilmu. Misalnya, dalam menangani masalah kesehatan masyarakat, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang aspek biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi dari kesehatan. Kolaborasi antara ahli kedokteran, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan bidang lainnya memungkinkan untuk menyatukan berbagai perspektif ini dalam mengembangkan strategi intervensi yang lebih holistik.

Kurikulum yang di rancang pun masih menggunakan paradigma OBE (Outcome Based Education) bukan IBE (Impact Based Education), tentunya alat ukur keduanya berbeda, jika OBE diukur seberapa banyak lulusan Universitas bisa di terima di dunia, kerja dan bukan seberapa banyak lulusan yang mampu melakukan sebuah perubahan sosial yang berdampak pada pemahaman dan kesejahteraan Masyarakat. Jadi kampus harus menetapkan indicator lulusannya bagaimana mereka melakukan transformasi hasil belajarnya untuk melakukan perubahan di Masyarakat, tentunya kampus tidak bisa menetapkan langsung 100% hasil penelitian, katakanlah universitas menetapkan setiap tahunnya 5% hasil penelitiannya bisa berdampak pada Masyarakat, dan tentunya dampaknya harus target yang paling rasional dan mampu diukur, kemudian dijadikan focus penelitian atau pengabdian Masyarakat sebagai tindaklanjutnya.

Universitas harus mampu mengintegrasikan kurikulumnya antara kebutuhan Masyarakat dengan capaian pembelajaran lulusannya, tentunya kolaborasi antara Masyarakat sebagai user (pengguna lulusan) dengan program studi yang memiliki target perubahan perilaku sosial harus bersinergi untuk membangun komitmen bersama untuk sebuah aksi perubahan. Konsep Khoirun Nas Anfa’uhum Linnas : sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat”, konsep ini memiliki konsekuensi logis yaitu Islam harus transformative dan berdampak, karenanya pembelajaran dalam Islam harus melahirkan model berfikir yang transformatif,

Pembelajaran yang dikembangkan harus transformatif Dimana harus ada semacam “hilirisasi konsep pembelajaran” dalam semua mata kuliah yang diajarkan dengan pendekatan yang dimulai dari Understanding-explain cause-relate-create-refelect and formulate, mulai dari pemahaman obyek, kemudian bagaimana proses penyadaran terhadap obyek tersebut, kemudian bagaimana obyek tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, dan akhirnya mahasiswa memiliki rencana aksi dalam obyek yang dikembangkan dalam mata kuliah tertentu, artinya minset mahasiswa betul-betul diarahkan secara masif dengan pendekatan transformatif.

Kampus sebagai simpul pertumbuhan ekonomi

Bagaimana peran perguruan tinggi agar bisa menjadi simpul pertumbuhan ekonomi, maka Perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan lulusan siap kerja, tetapi juga menjadi pusat inovasi, riset, dan kolaborasi yang mendukung industrialisasi serta pengembangan ilmu pengetahuan di tingkat nasional dan internasional, itu artinya perguruan tinggi harus melahirkan SDM yang unggul dan kompetitif.

Negara maju pembangunannya ditopang dengan adanya SDM unggul, berdaya saing, dan menguasai ilmu pengetahuan, Karena itulah, perguruan tinggi menjadi tumpuan. Kita lihat saja IPM menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kita mengalami peningkatan dari 74,39 tahun 2023 menjadi 75,02 tahun 2024 meningkat 0,63 poin atau 0,85 % dibanding tahun sebelumnya, secara pemeringkatan jika dibandingkan tahun 2021 masih 114 dan tahun 2024 mengalami peningkatan peringkat 112 dari 191 negara juga Indek daya saing global Indonesia masih diperingkat 34 masih kalah dengan Thailand peringkat 30, Malaysia 27 dan Singapura 4 tahun 2021. Tahun 2024 mengalami peningkatan berada pada peringkat 27 dari 67 negara dan menggeser Malaysia.

Dalam pengembangan pendidikan tinggi, tidak hanya peningkatan akses ke perguruan tinggi yang berkualitas dan relevan akan tetapi dibutuhkan juga pemetaan bidang keilmuan dan keahlian yang mendukung prioritas pembangunan dunia usaha dan dunia indutri atau pasar kerja nasional. Salah satunya dengan memperkuat keilmuan di bidang sains, teknologi, engineering/teknik, arts/seni dan matematika (STEM/STEAM) yang proporsinya masih sekitar 40 persen dibandingkan bidang sosial humaniora yang berkisar 60 persen.

Bagaimana dengan perguruan tinggi Islam, tentu sangat ditunggu-tunggu kontribusi nyatanya, Dimana Islam sebenarnya mengajarkan tentang bagaimana hidup yang tidak materialistis, karena tujuan hidup manusia adalah untuk pengabdian kepada sang maha Pencipta yang sudah menciptakan alam semesta dan tugas manusia harus menjadi khalifah di muka bumi untuk memeliharanya agar tidak rusak. Konsep ekonomi Islam lebih bermakna pada memberikan manfaat daripada mengekploitasi, karenanya sudah saatnya perguruan tinggi Islam memulainya dari lingkaran yang paling kecil, mulai dari pengembangan mental individu sampai lingkaran yang paling besar yaitu Masyarakat,

Pendidikan Lainnya