Oleh: Dr. Muhammad Adib Abdushomad,
M.Ag., M.Ed., Ph.D.
Dari podium Hartford
International University, Amerika Serikat, pada Mei 2025, Prof. Dr. K.H.
Nasaruddin Umar, M.A., Menteri Agama Republik Indonesia, menyampaikan sebuah
pidato yang sarat dengan pesan universal: perdamaian, toleransi, dan
rekonsiliasi antarumat manusia. Pidato tersebut tidak hanya menyentuh relasi
lintas agama, tetapi juga membuka jalan bagi diplomasi kemanusiaan dalam
menghadapi tantangan geopolitik global yang terus bergolak.
Hartford, dalam hal
ini, menjadi simbol dari jembatan antarbangsa. Ketika dunia dilanda ketegangan
demi ketegangan, seperti yang terlihat dalam relasi India dan Pakistan yang
terus terjerat konflik berkepanjangan, maka suara-suara yang menyerukan
penyatuan, pengertian, dan kerja sama lintas iman menjadi semakin vital. Dalam
pidatonya, Prof. Nasaruddin Umar menekankan pentingnya mengedepankan kesamaan
nilai-nilai ketuhanan sebagai fondasi membangun perdamaian yang adil dan abadi.
Konsep “Islam
Nusantara” yang diusung beliau adalah refleksi konkret dari praktik
keberagamaan yang menghargai kearifan lokal dan nilai-nilai multikulturalisme.
Inilah kontribusi penting dari Indonesia sebagai bangsa yang mampu menjaga
keharmonisan dalam keragaman. Jika prinsip-prinsip ini diterjemahkan dalam
hubungan internasional, maka dunia akan memiliki alternatif yang lebih
manusiawi dan beradab dalam menyelesaikan sengketa lintas batas.
Prof. Nasaruddin Umar
juga mengutip Surah Al-Baqarah ayat 62 sebagai penegasan bahwa keselamatan
spiritual tidak hanya eksklusif dalam satu agama. Ayat tersebut mengajarkan
bahwa siapa pun yang beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik,
akan mendapatkan balasan dan perlindungan dari Tuhan. Pesan ini selaras dengan
ajaran inti dari ketiga agama Abrahamik — Islam, Kristen, dan Yahudi. yang
semuanya berpijak pada nilai moral universal: keadilan, kasih sayang, dan
penghormatan terhadap kehidupan.
Dengan mengirimkan
mahasiswa Indonesia ke Hartford untuk mempelajari pluralisme dan dialog lintas
iman, Prof. Nasaruddin Umar sesungguhnya sedang merancang masa depan di mana
generasi muda tidak lagi terjebak dalam narasi kebencian, tetapi justru menjadi
agen perdamaian global. Pendidikan dan pertukaran gagasan menjadi alat paling
efektif untuk membangun empati dan menghancurkan tembok prasangka antarbangsa.
Seruan dari Hartford
ini bukan sekadar wacana, tetapi ajakan konkret untuk membumikan perdamaian.
Ketika kekuatan-kekuatan besar dunia terus bersaing dalam perebutan dominasi
politik dan ekonomi, suara dari ruang-ruang akademik dan spiritual seperti Hartford
dan Jakarta menjadi penyeimbang yang sangat dibutuhkan.
Dunia tidak kekurangan
teknologi, kekuatan militer, maupun retorika diplomasi. Namun dunia sangat
kekurangan ketulusan, keteladanan, dan keberanian untuk berdamai. Pidato Prof.
Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. adalah pengingat bahwa perdamaian bukan sesuatu
yang utopis — asal ada kemauan untuk melihat sesama sebagai saudara, bukan
sebagai ancaman.