Jejak Hijau Prof. Nasaruddin Umar: Ekoteologi sebagai Arah Baru Spiritualitas Publik

Admin Gusadib 24 Jun 2025 319 kali dibaca
Jejak Hijau Prof. Nasaruddin Umar: Ekoteologi sebagai Arah Baru Spiritualitas Publik

Jejak Hijau Prof. Nasaruddin Umar: Ekoteologi sebagai Arah Baru Spiritualitas Publik

Oleh: Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D.

Krisis lingkungan hidup tidak lagi menjadi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan yang terjadi kini. Pemanasan global, pencemaran udara dan air, deforestasi, hingga kepunahan spesies merupakan gejala nyata dari rusaknya hubungan manusia dengan alam. Di tengah situasi ini, agama tidak sepatutnya bersikap netral. Sebaliknya, agama justru memiliki potensi besar sebagai kekuatan moral dalam menyembuhkan luka ekologis. Di sinilah pentingnya ekoteologi sebagai pendekatan yang menyatukan spiritualitas dengan kepedulian ekologis.


Ekoteologi merupakan refleksi teologis atas tanggung jawab manusia dalam merawat alam sebagai ciptaan Tuhan. Dalam pandangan ini, manusia bukan penguasa tunggal atas bumi, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang saling terhubung. Pemikir Muslim seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa akar krisis lingkungan sesungguhnya adalah krisis spiritual. Dalam buku-bukunya, ia menyoroti modernitas yang memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai sakral, menyebabkan manusia kehilangan rasa hormat terhadap alam. Bagi Nasr, solusi ekologis tidak cukup dengan teknologi, melainkan harus dimulai dari perubahan batin manusia: dari keserakahan menuju kesadaran sebagai hamba.


Gagasan teosentris ini sejalan dengan visi dan kepemimpinan Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Di bawah arahannya, ekoteologi tidak hanya menjadi wacana, tetapi dijalankan melalui kebijakan nyata. Salah satunya tertuang dalam KMA Nomor 244 Tahun 2025 yang menempatkan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari transformasi layanan keagamaan. Lingkungan tidak lagi dipandang sekadar isu teknis, melainkan bagian dari pengamalan iman.


Implementasi kebijakan ini tercermin dalam sejumlah program inovatif. Penanaman satu juta pohon di lingkungan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) menjadi langkah simbolik sekaligus spiritual. Gerakan ini disertai narasi bahwa setiap pohon adalah sedekah, dan setiap daun yang tumbuh menjadi pengingat akan tanggung jawab manusia pada bumi. Di sisi lain, penguatan sistem monitoring terhadap keberlanjutan pohon-pohon tersebut menjadi tantangan penting agar tidak berhenti di tataran seremonial.


Program lain yang mencerminkan semangat ekologis adalah “Satu Pengantin Satu Pohon”, di mana pasangan calon pengantin yang mendaftar ke KUA diminta membawa tanaman hidup untuk ditanam. Dengan demikian, pernikahan bukan hanya kontrak sosial, melainkan juga janji ekologis. Gagasan ini mengajak masyarakat membangun keluarga sejalan dengan komitmen menjaga lingkungan. Meskipun program ini sangat potensial, diperlukan dukungan yang lebih kuat dari lintas sektor untuk memperluas jangkauan implementasinya.


Tidak hanya itu, Kementerian Agama juga memberlakukan kebijakan “Satu ASN Satu Pohon” bagi CPNS dan PPPK baru. Praktik ini mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam proses birokratis, menunjukkan bahwa institusi negara pun bisa menjadi pelopor gaya hidup ramah lingkungan.


Gerakan-gerakan ini membuka ruang untuk kolaborasi lintas iman. Ekoteologi bukan monopoli Islam, melainkan juga ada dalam tradisi agama lain. Dalam Kristen, misalnya, terdapat konsep stewardship; dalam Hindu dan Buddha dikenal prinsip keseimbangan dan ahimsa; sementara dalam tradisi lokal Nusantara, harmonisasi dengan alam merupakan bagian dari budaya hidup. Kesamaan nilai ini bisa menjadi landasan dialog antarumat beragama yang lebih bermakna dan solutif.


Namun demikian, tantangan tidak kecil. Masih ada sebagian masyarakat yang menganggap isu lingkungan sebagai urusan sekuler, terpisah dari kewajiban beragama. Oleh karena itu, penting untuk mengarusutamakan nilai ekoteologi dalam pendidikan agama, khutbah, dan pelatihan tokoh lintas agama. Prof. Nasaruddin dalam banyak forum menekankan bahwa menjaga bumi adalah ibadah, dan bahwa alam adalah “mushaf terbuka” yang mengandung ayat-ayat Tuhan dalam bentuk pohon, sungai, dan gunung.


Melalui pendekatan ini, ekoteologi dapat menjadi jalan bagi revitalisasi peran agama dalam isu-isu kontemporer. Ketika umat beragama bersama-sama menanam pohon, mengurangi limbah plastik, atau merawat sungai, mereka tidak hanya menjaga bumi, tetapi juga mempererat hubungan antarumat. Ekologi menjadi titik temu baru bagi kerukunan, membangun solidaritas dan dialog dalam bingkai cinta kepada kehidupan.


Akhirnya, merawat bumi adalah panggilan spiritual sekaligus tugas kemanusiaan. Ekoteologi, sebagaimana dicontohkan oleh Prof. Nasaruddin Umar, tidak hanya menawarkan narasi baru tentang hubungan manusia dengan alam, tetapi juga memberikan arah praksis menuju masa depan yang lebih lestari dan damai. Menanam pohon menjadi bentuk dzikir, menjaga sungai menjadi wujud syukur, dan merawat bumi menjadi manifestasi nyata dari iman yang hidup. Sebab menyelamatkan bumi hari ini adalah ibadah yang paling nyata bagi generasi masa depan.

Pojok Gus Adib Lainnya