Oleh Dr. Rudolf Wirawan dan M. Adib Abdushomad, M.Ed, Ph.D*
Di dunia yang
semakin terpecah, tanggung jawab untuk melindungi alam berdiri sebagai salah
satu dari sedikit seruan universal yang melampaui agama, etnis, dan ideologi.
Ini adalah tugas yang bukan milik kelompok tertentu, tetapi untuk seluruh umat
manusia – dan semua makhluk yang berbagi Bumi ini.
Inti dari
tanggung jawab bersama ini terletak hukum alam – tatanan intrinsik yang
dijalin ke dalam alam semesta oleh Sang Pencipta. Terlepas dari keyakinan
seseorang atau kekurangannya, hukum alam tetap dapat diamati, konsisten, dan
mengikat. Gravitasi tidak membedakan antara yang setia dan yang skeptis; Ekosistem
berkembang atau runtuh sesuai dengan prinsip-prinsip yang tidak dapat
dikesampingkan oleh keputusan manusia.
Universalitas ini
menawarkan fondasi yang kuat untuk membangun etika lingkungan yang inklusif.
Setiap tradisi utama – spiritual, filosofis, atau ilmiah – mengakui, dengan
caranya sendiri, kesucian alam. Dalam ajaran Islam, umat manusia dipandang
sebagai khalifah, atau pelayan Bumi. Dalam kearifan adat, alam adalah keluarga.
Dalam penyelidikan ilmiah, ekosistem adalah jaring kehidupan yang saling
bergantung yang kesehatannya sangat penting untuk kelangsungan hidup.
Dengan demikian,
ekologi tidak boleh dilihat hanya melalui lensa teologi mana pun. Ini adalah
cerminan dari tatanan kosmik yang lebih dalam yang mengikat semua ciptaan
bersama-sama. Mengenali kebenaran ini memanggil kita untuk bergerak melampaui
batas-batas agama, budaya, dan politik. Ini menuntut komitmen terpadu untuk
melindungi apa yang telah dipercayakan kepada kita.
Saat ini,
komitmen ini lebih mendesak dari sebelumnya. Perubahan iklim, hilangnya
keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan bukanlah ancaman yang jauh;
mereka adalah realitas yang mempengaruhi setiap sudut planet ini. Krisis
ekologis yang memburuk adalah bukti kegagalan kolektif umat manusia untuk
menghormati hukum alam.
Lalu, apa yang
harus dilakukan? Ini dimulai dengan pergeseran kesadaran: untuk melihat alam
bukan sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi, tetapi sebagai bukti hidup
dari pekerjaan Sang Pencipta - kepercayaan yang harus dilindungi. Kita harus
bertindak secara lokal dan global: menghemat air, mengurangi limbah, memulihkan
ekosistem, dan mengadvokasi kebijakan berkelanjutan. Di luar tindakan, itu
membutuhkan pembaruan kerendahan hati – untuk mengingat bahwa umat manusia
tidak berada di atas alam, tetapi bagian darinya.
Dalam menghormati
hukum alam, kita menghormati sumber kehidupan itu sendiri. Melindungi alam
bukan sekadar kewajiban lingkungan; itu adalah moral – untuk orang percaya dan
tidak percaya. Ini adalah perjalanan bersama untuk kembali ke keseimbangan,
hidup dengan hormat, dan mengamankan masa depan untuk generasi yang belum
lahir.
Jika kita
mendengarkan dengan cermat, kita masih dapat mendengar panggilan alam –
undangan abadi untuk hidup selaras dengan semua yang ada.
Dr. Rudolf Wirawan adalah seorang advokat lingkungan dan pendiri inisiatif BIMA, yang didedikasikan untuk menjembatani teknologi, kearifan adat, dan regenerasi ekologis untuk masa depan yang berkelanjutan. Dia menjabat di dewan editorial Matematika dan Ilmu Komputer dan telah memimpin proyek transformatif yang mempromosikan ekonomi sirkular dan pemberdayaan masyarakat.
Dr. Muhammad Adib Abdushomad adalah suara terkemuka untuk kerukunan antaragama dan pengelolaan lingkungan, menjabat sebagai Kepala Pusat Kerukunan Beragama di Kementerian Agama Indonesia. Karyanya memperjuangkan moderasi agama, dialog inklusif, dan integrasi etika ekologis ke dalam kehidupan publik.