THUDONG DAN WAISAK: JEJAK SUNYI MENUJU KERUKUNAN SEMESTA

Gus Adib Gusadib 11 May 2025 431 kali dibaca
THUDONG DAN WAISAK: JEJAK SUNYI MENUJU KERUKUNAN SEMESTA

THUDONG DAN WAISAK: JEJAK SUNYI MENUJU KERUKUNAN SEMESTA

Oleh: Muhammad Adib Abdushomad


Hari Raya Tri Suci Waisak 2569 BE tahun ini menjadi momen yang bukan hanya sakral bagi umat Buddha, tetapi juga sarat pesan kemanusiaan universal. Di tengah kompleksitas zaman yang ditandai dengan polarisasi identitas dan ketegangan geopolitik global, perayaan Waisak tahun ini hadir lebih dari sekadar ritual keagamaan. Ia menjadi ruang spiritual yang membukakan mata batin manusia akan pentingnya kerukunan, perdamaian, dan penghormatan terhadap kehidupan.


Salah satu fenomena paling menyentuh dalam rangkaian Waisak tahun ini adalah Thudong, Tradisi para Bhikkhu berjalan kaki melintasi batas negara dari Thailand menuju Candi Borobudur. Perjalanan sunyi ini bukanlah sekadar ziarah fisik, tetapi sekaligus laku spiritual yang menebarkan kedamaian. Langkah demi langkah para Bhikkhu mengajarkan nilai universal tentang kesederhanaan, pengendalian diri, dan welas asih. Masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang agama dan budaya menyambut mereka dengan tangan terbuka, memberi makan, tempat beristirahat, dan yang terpenting: menghormati laku mereka.


Inilah cermin kerukunan yang hakiki, yang tidak dibangun oleh slogan, tetapi oleh tindakan nyata. Di tengah dinamika sosial yang kerap terjebak dalam sekat-sekat primordial, Thudong justru memperlihatkan bahwa kedamaian dapat tumbuh dari kesediaan untuk saling menyapa, menghormati, dan menghidupi nilai-nilai luhur secara bersama. Ini bukan semata momen spiritual Buddhis, tetapi milik kemanusiaan secara kolektif.


Fenomena ini juga merefleksikan arah kebijakan negara dalam merawat kehidupan beragama yang rukun. Melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 244 Tahun 2025 tentang Asta Protas, Kementerian Agama menempatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan sebagai prioritas pertama, sebagai prime mover dari seluruh agenda keagamaan nasional. Ini menunjukkan bahwa kerukunan bukan hanya pelengkap dari program-program lainnya, tetapi fondasi utama yang menopang keberhasilan transformasi keagamaan, termasuk moderasi beragama, digitalisasi layanan, hingga diplomasi lintas iman.


Dalam konteks global, pesan Thudong semakin relevan. Dunia sedang dilanda peningkatan ketegangan antarnegara, mulai dari konflik berkepanjangan di Ukraina dan Gaza, hingga ketegangan terbaru antara India dan Pakistan. Dalam situasi seperti itu, langkah sunyi para Bhikkhu yang menolak simbol politik dan kekuasaan menjadi bentuk soft resistance terhadap kekerasan dan dominasi. Mereka hadir bukan untuk menuntut, tetapi untuk mengingatkan: bahwa damai tidak selalu datang dari meja perundingan, tetapi bisa tumbuh dari hati yang bersih dan laku yang tulus.

Indonesia berperan penting dalam menghadirkan pesan ini ke panggung dunia. Sebagai negara majemuk yang menjamin kebebasan beragama, Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah perayaan Waisak dan Thudong, tetapi juga aktor moral yang meneguhkan bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan untuk membangun koeksistensi damai. Inilah bentuk nyata diplomasi kemanusiaan—di mana nilai-nilai keagamaan tidak dipolitisasi, tetapi dimanifestasikan menjadi jembatan antara yang berbeda.


Pesan paling dalam dari Thudong adalah harmonisasi ego, meluruhkan rasa lebih unggul, menundukkan nafsu atas nama kelompok, dan membuka ruang persaudaraan lintas batas. Nilai ini sejatinya diajarkan oleh semua agama. Dalam Islam dikenal konsep tazkiyatun nafs, dalam Kristen ada semangat caritas, dalam Hindu ada ajaran ahimsa, dan dalam kearifan lokal Nusantara ada prinsip hidup selaras. Semua menuju pada titik yang sama: bahwa damai hanya mungkin tumbuh jika manusia bersedia menata diri dan merendahkan ego.

Waisak dan Thudong tahun ini seharusnya tidak hanya menjadi peristiwa seremonial yang berlalu. Dunia hari ini tidak membutuhkan lebih banyak retorika, tetapi lebih banyak pejalan sunyi, mereka yang bekerja dalam diam untuk perdamaian, yang menanggalkan simbol kemenangan demi keteduhan bersama. Dalam langkah para Bhikkhu itu, kita menemukan pelajaran tentang hidup: bahwa kerukunan bukanlah tujuan akhir, tetapi proses panjang yang harus dirawat dengan cinta dan kesabaran.


Di tengah riuhnya dunia, Thudong adalah bisikan sunyi tentang jalan menuju perdamaian. Dan Waisak adalah momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut dalam konteks kekinian. Keduanya mengajak kita semua untuk menjadi bagian dari upaya membangun dunia yang tidak hanya damai, tetapi juga saling memahami, menghormati, dan mengasihi.