Oleh: Muhammad Adib Abdushomad
Hari Raya Tri Suci Waisak 2569 BE tahun ini menjadi
momen yang bukan hanya sakral bagi umat Buddha, tetapi juga sarat pesan
kemanusiaan universal. Di tengah kompleksitas zaman yang ditandai dengan
polarisasi identitas dan ketegangan geopolitik global, perayaan Waisak tahun
ini hadir lebih dari sekadar ritual keagamaan. Ia menjadi ruang spiritual yang
membukakan mata batin manusia akan pentingnya kerukunan, perdamaian, dan
penghormatan terhadap kehidupan.
Salah satu fenomena paling menyentuh dalam rangkaian
Waisak tahun ini adalah Thudong, Tradisi para Bhikkhu berjalan kaki
melintasi batas negara dari Thailand menuju Candi Borobudur. Perjalanan sunyi
ini bukanlah sekadar ziarah fisik, tetapi sekaligus laku spiritual yang
menebarkan kedamaian. Langkah demi langkah para Bhikkhu mengajarkan nilai
universal tentang kesederhanaan, pengendalian diri, dan welas asih. Masyarakat
Indonesia dari berbagai latar belakang agama dan budaya menyambut mereka dengan
tangan terbuka, memberi makan, tempat beristirahat, dan yang terpenting:
menghormati laku mereka.
Inilah cermin kerukunan yang hakiki, yang tidak
dibangun oleh slogan, tetapi oleh tindakan nyata. Di tengah dinamika sosial
yang kerap terjebak dalam sekat-sekat primordial, Thudong justru memperlihatkan
bahwa kedamaian dapat tumbuh dari kesediaan untuk saling menyapa, menghormati,
dan menghidupi nilai-nilai luhur secara bersama. Ini bukan semata momen
spiritual Buddhis, tetapi milik kemanusiaan secara kolektif.
Fenomena ini juga merefleksikan arah kebijakan
negara dalam merawat kehidupan beragama yang rukun. Melalui Keputusan Menteri
Agama (KMA) Nomor 244 Tahun 2025 tentang Asta Protas, Kementerian Agama
menempatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan sebagai prioritas pertama, sebagai
prime mover dari seluruh agenda keagamaan nasional. Ini menunjukkan
bahwa kerukunan bukan hanya pelengkap dari program-program lainnya, tetapi
fondasi utama yang menopang keberhasilan transformasi keagamaan, termasuk
moderasi beragama, digitalisasi layanan, hingga diplomasi lintas iman.
Dalam konteks global, pesan Thudong semakin relevan.
Dunia sedang dilanda peningkatan ketegangan antarnegara, mulai dari konflik
berkepanjangan di Ukraina dan Gaza, hingga ketegangan terbaru antara India dan
Pakistan. Dalam situasi seperti itu, langkah sunyi para Bhikkhu yang menolak
simbol politik dan kekuasaan menjadi bentuk soft resistance terhadap
kekerasan dan dominasi. Mereka hadir bukan untuk menuntut, tetapi untuk
mengingatkan: bahwa damai tidak selalu datang dari meja perundingan, tetapi
bisa tumbuh dari hati yang bersih dan laku yang tulus.
Indonesia berperan penting dalam menghadirkan pesan
ini ke panggung dunia. Sebagai negara majemuk yang menjamin kebebasan beragama,
Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah perayaan Waisak dan Thudong, tetapi
juga aktor moral yang meneguhkan bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan untuk
membangun koeksistensi damai. Inilah bentuk nyata diplomasi kemanusiaan—di mana
nilai-nilai keagamaan tidak dipolitisasi, tetapi dimanifestasikan menjadi
jembatan antara yang berbeda.
Pesan paling dalam dari Thudong adalah harmonisasi
ego, meluruhkan rasa lebih unggul, menundukkan nafsu atas nama kelompok,
dan membuka ruang persaudaraan lintas batas. Nilai ini sejatinya diajarkan oleh
semua agama. Dalam Islam dikenal konsep tazkiyatun nafs, dalam Kristen
ada semangat caritas, dalam Hindu ada ajaran ahimsa, dan dalam
kearifan lokal Nusantara ada prinsip hidup selaras. Semua menuju pada titik
yang sama: bahwa damai hanya mungkin tumbuh jika manusia bersedia menata diri
dan merendahkan ego.
Waisak dan Thudong tahun ini seharusnya tidak hanya
menjadi peristiwa seremonial yang berlalu. Dunia hari ini tidak membutuhkan
lebih banyak retorika, tetapi lebih banyak pejalan sunyi, mereka yang
bekerja dalam diam untuk perdamaian, yang menanggalkan simbol kemenangan demi
keteduhan bersama. Dalam langkah para Bhikkhu itu, kita menemukan pelajaran
tentang hidup: bahwa kerukunan bukanlah tujuan akhir, tetapi proses panjang
yang harus dirawat dengan cinta dan kesabaran.
Di tengah riuhnya dunia, Thudong adalah bisikan sunyi tentang jalan menuju perdamaian. Dan Waisak adalah momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut dalam konteks kekinian. Keduanya mengajak kita semua untuk menjadi bagian dari upaya membangun dunia yang tidak hanya damai, tetapi juga saling memahami, menghormati, dan mengasihi.